Beberapa Aturan Dalam Islam Cara Berpakaian, Baik Bagi Laki-Laki Ataupun Perempuan

Beberapa Aturan Dalam Islam Cara Berpakaian, Baik Bagi Laki-Laki Ataupun Perempuan

Salah  satu disparitas sistem Islam menggunakan sistem Kapitalis merupakan bahwa sistem Kapitalis memandang problem sosial dan  tempat tinggal   tangga dianggap sebagai duduk perkara ekonomi, sedangkan sistem Islam problem-problem di atas dibahas tersendiri pada hukum-aturan seputar hubungan pria-perempuan   (nizhâm al-ijtima’iyyah). Misalnya dalam sistem kapitalisme tidak terdapat kata zina. Bila laki-laki dan  perempuan   melakukan korelasi suami istri tanpa ikatan pernikahan dilakukan senang sama-sama senang atau saling menguntungkan kebalikannya disebut pelecehan seksual serta pelakunya bisa diajukan ke pengadilan Jika seseorang suami memaksa dilayani secara paksa sang istrinya menolak.

Cara Berpakaian, Baik Bagi Laki-Laki Ataupun Perempuan

Sebab itu pada dilema sandang antara penganut sistem kapitalis dan  sistem Islam jelas perbeda. Pada sistem kapitalis sandang disebut menjadi salah  satu ungkapan kepribadian, menjadi unsur penarik lawan jenis serta sebab itu memiliki nilai hemat. Bentuk tubuh seorang apalagi perempuan sangat berpengaruh terhadap makna kebahagiaan serta masa depan.

Adapun Islam menduga bahwa pakaian digunakan memiliki ciri yang sangat jauh berasal tujuan hemat apalagi yg menunjuk pada pelecehan penciptaan makhluk Allah. Sebab itu dalam Islam menjelaskan sebagai berikut:

1. Sandang dikenakan oleh seorang muslim maupun muslimah sebagai ungkapan ketaatan serta ketundukan pada Allah, karena itu berpakaian bagi seorang muslim memiliki nilai ibadah. Sebab itu pada berpakaian iapun mengikuti hukum yang ditetapkan Allah.

2. Kepribadian seseorang ditentukan semata-mata sang aqliyahnya (bagaimana beliau menjadikan inspirasi-pandangan baru eksklusif buat pandangan hidupnya) serta nafsiyahnya (menggunakan tolok ukur apa serta seberapa banyak beliau berbuat pada memenuhi kebutuhan hayati dan  melampiaskan nalurinya).

3. Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama, yg membedakan merupakan takwanya.

Melalui cara berpakaian yang Islami, sesungguhnya Allah jua berkehendak memuliakan insan menjadi makhluk yang memang telah Allah ciptakan menjadi makhluk yang mulia. Sebaliknya dengan tidak mengikuti cara berpakaian sinkron yg dikehendaki Allah, mengakibatkan kedudukan insan jatuh.

Walhasil seseorang muslim serta muslimah harus mengetahui hukum berpakaian supaya dalam berpakaian serta berpenampilan ia akan menerima ridha Allah, bukan sebaliknya menerima murka  Allah.

A. Sandang Bagi seorang Muslim

Pakaian yang dikenakan sang seorang muslim haruslah memenuhi kondisi eksklusif, yakni:

1. Menutup aurat;
2. Tidak terbuat berasal emas atau sutera;
3. Tidak menyerupai sandang perempuan  ;
4. Tidak menyerupai orang-orang kafir.

B. Aurat pria

Aurat laki-laki  merupakan antara pusar dan  lutut, sesuai riwayat ‘Aisyah:

Cara Berpakaian, Baik Bagi Laki-Laki Ataupun Perempuan

Asal ‘Amr bin Syu’aib asal Bapaknya dari kakeknya, beliau menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Bila ada pada antara kalian yang menikahkan pembantu, baik seorang budak ataupun pegawainya, hendaklah beliau tidak melihat bagian tubuh antara sentra serta pada atas lututnya.” [HR. Abu Dawud, no. 418 dan 3587].

Rasulullah Saw bersabda:

Aurat laki-laki  artinya antara pusat hingga dua lutut. [HR. Ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, lihat Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid].

Asal Muhammad bin Jahsyi, dia mengatakan: Rasulullah Saw melewati Ma’mar, sedang kedua pahanya dalam keadaan terbuka. Lalu Nabi bersabda:

“Wahai Ma’mar, tutuplah kedua pahamu itu, karena sesungguhnya ke 2 paha itu aurat.” [HR. Ahmad dan Bukhari, lihat Ahkamush Sholat, Ali Raghib].

Jahad al-Aslami (galat seorang ashabus shuffah) mengatakan: pernah Rasulullah Saw duduk pada dekat kami sedang pahaku terbuka, kemudian dia bersabda:

“Tidakkah engkau  memahami bahwa paha itu aurat?” [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Malik, lihat Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].

Jua Rasulullah Saw pernah berkata kepada Ali ra: “Janganlah kamu menampakkan pahamu serta janganlah engkau  melihat paha orang yg masih hidup atau yang sudah meninggal.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, lihat Shafwât at-Tafâsir, Muhammad Ali ash-Shabuni].

Larangan memakai Emas dan  Sutera Bagi pria

Larangan ini sesuai hadits:

Diriwayatkan asal al-Bara’ bin Azib r.A ucapnya: “Rasulullah Saw memerintahkan kami dengan tujuh kasus serta melarang kami berasal tujuh perkara. Baginda memerintahkan kami menziarahi orang sakit, mengiringi jenazah, mendoakan orang bersin, menunaikan sumpah dengan sahih, menolong orang yang dizalimi, memenuhi undangan dan  memberi salam. Baginda melarang kami memakai cincin atau bercincin emas, minum menggunakan bekas minuman asal perak, hamparan sutera, sandang buatan Qasiy yaitu dari sutera, serta mengenakan sandang sutera, sutera tebal serta sutera halus.” [HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad, CD Al-Bayan 1212].

Embargo Menyerupai perempuan  

Seorang laki-laki  dihentikan bertingkah laris, termasuk berpakaian menyerupai wanita serta kebalikannya seseorang wanita bertingkah laris termasuk berpakaian mirip pria.

Larangan Menyerupai Orang Kafir

Menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) tidak boleh bagi muslim maupun muslimah. Tasyabbuh bisa dilakukan melalui sandang, perilaku, gaya hidup juga pandangan hidup.

Bagi seorang laki-laki  pakaian yang wajib  dikenakan sama, apakah beliau pada dalam rumah, pada luar rumah, di hadapan mahram atau bukan, kecuali di hadapan isteri.

C. Sandang Bagi seorang Muslimah

Adapun sandang yang dikenakan oleh seseorang muslimah haruslah memenuhi kondisi-syarat sebagai berikut:
  1. Menutup aurat;
  2. Menetapi jenis serta model yang ditetapkan syara’ (memakai jilbab, khumur, mihnah dan memenuhi kriteria irkha’);
  3. Tidak tembus pandang;
  4. Tak menunjukkan bentuk serta lekuk tubuhnya;
  5. Tidak tabarruj;
  6. Tak menyerupai pakaian pria;
  7. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.

Rincian masing-masing persyaratan di atas berbeda-beda sesuai:

1. Keberadaan perempuan   di daerah awam atau pada tempat spesifik.

2. Eksistensi wanita pada hadapan mahram atau bukan atau pada hadapan suami atau bukan.

Penampilan perempuan   dibedakan antara kawasan khusus dan  daerah umum . Contohnya pada dalam rumah sendiri seseorang perempuan   boleh membuka jilbabnya dan  hanya menggunakan mihnahnya, kecuali Bila ada tamu laki-laki  non muhrim. Adapun di kawasan awam penampilan perempuan   dibatasi menggunakan ketentuan-ketentuan menjadi berikut:

A. Kewajiban menutup aurat, semua tubuh kecuali muka serta telapak tangan.

B. Kewajiban memakai sandang spesifik pada kehidupan awam, yaitu kerudung (khimar) dan  jilbab (sandang luar yg luas (mirip jubah) yang menutup sandang harian yg biasa dipakai wanita pada dalam tempat tinggal   (mihnah), yang terulur eksklusif berasal atas hingga ujung kaki.

C. Embargo tabarruj (menonjolkan estetika bentuk tubuh, kecantikan dan  perhiasan di depan pria non muhrim atau pada kehidupan umum ).

D. Embargo tasyabbuh terhadap pria.

Khusus buat wanita menopause diperbolehkan Allah buat melepaskan jilbabnya hanya saja permanen diperintahkan untuk tidak tabarruj, sebagai akibatnya diperbolehkan baginya memakai baju panjang selapis/tidak rangkap (bukan jilbab) contoh apa saja selama tak menampakkan estetika tubuhnya seperti baju panjang atas bawah, kulot panjang dan  lain-lain, Qs. An-Nûr [24]: 60).

Pakaian wanita di pada rumahnya cukup memakai mihnah (kecuali ada tamu bukan mahrom, maka harus menutup aurat yg harus ditutup pada hadapan bukan mahrom). Pada hadapan mahrom maka cukup menggunakan mihnah (kecuali di kawasan awam maka harus memenuhi pakaian perempuan   di tempat awam), pada hadapan suami tidak ada keharusan menutup bagian tubuhnya (walaupun dianjurkan tidak telanjang).


Pembahasan aurat perempuan   dibagi menjadi 3 keadaan, yaitu:

1. Di hadapan suami mereka maka wanita boleh menampakkan seluruh bagian tubuhnya (sesuai hadits riwayat Bahz bin Hakim).

Dua. Di hadapan muhrimnya dan  orang-orang yang dianggap pada Qs. An-Nûr [24]: 31 dan  Qs. An-Nisâ’ [4]: 23 maka baginya boleh menampilkan bagian eksklusif berasal anggota tubuhnya yg biasa dianggap mahaluzzinah yaitu anggota badan yg umumnya dijadikan kawasan perhiasan, mirip: ketua seluruhnya, kawasan kalung (leher), kawasan gelang tangan (pergelangan tangan) sampai pangkal lengan serta daerah gelang kaki (pergelangan kaki) hingga lutut. Mahaluzzinah ini biasa tampak waktu wanita menggunakan baju pada tempat tinggal   (mihnah). Selain itu anggota tubuh lain boleh tampak termasuk bila terdapat hajat seperti perut, payudara, kecuali aurat yg terdapat pada antara pusar dan  lutut.

Pemahaman mahaluzzinah ini diambil dari firman Allah SWT:

“….Serta janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak asal padanya. Dan  hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka, serta janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali…” (Qs. An-Nûr [24]: 31).

Kata zinah yang secara bahasa berarti perhiasan, tetapi bukanlah perhiasan yg biasa dipakai orang namun makna zinah pada sini ialah anggota badan yg artinya kawasan perhiasan (mahaluzzinah), karena illa mâ zhahara minha yg dimaksud merupakan yg biasa nampak pada ketika itu (waktu ayat ini turun) yaitu muka serta telapak tangan, jadi menyangkut anggota badan.

2. Adapun di hadapan laki-laki  selain suami dan  muhrimnya maka aurat perempuan   ialah semua tubuh kecuali paras dan telapak tangan.

Dasar asal penentuan aurat perempuan   artinya seluruh tubuh kecuali wajah serta telapak tangan, yaitu:

“….Dan  janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. An-Nûr [24]: 31).

Sedangkan yang dimaksud dengan yg biasa nampak daripadanya ialah wajah dan  telapak tangan. Sebab dua bagian ini yg biasa nampak dari perempuan   muslimah pada hadapan Rasul Muhammad Saw (baik dalam sholat, haji maupun pada kehidupan sehari-hari di luar sholat dan  haji) serta Rasul mendiamkannya sementara ayat-ayat al-Qu’ran masih turun. Tafsir tentang hal ini, Ibnu Abbas menyatakan yg dimaksud dengan illa mâ zhahara minha adalah muka serta tangan, juga asal Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menyatakan “Pendapat yang paling kuat pada masalah ini artinya pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa nampak artinya muka dan  telapak tangan.” (Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jld. 18, hal. 94). Hal tadi diperkuat dengan sabda Rasul Saw pada Asma’ binti Abu Bakar:

“Wahai Asma’: Sesungguhnya perempuan   yg telah haid tidak layak baginya terlihat dari tubuhnya kecuali ini serta ini. Dia mengarah di wajah dan  telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud, No. 3580].

Qs. An-Nûr [24]: 31 turun sebelum ayat tentang jilbab sehingga ayat ini hanya menyampaikan batasan aurat serta perintah menggunakan kerudung. Sedangkan kewajiban berjilbab akan dibahas menyusul.

Baca juga : 

Adapun berkaitan dengan apa aurat itu ditutup, maka sesungguhnya syara’ tidak menentukan sandang eksklusif buat menutup aurat, namun hanya menyampaikan beberapa syarat yaitu:

1. Sandang itu tak menampakkan aurat (dapat menutup semua aurat).

2. Sandang itu bisa menutup kulit, sehingga tidak diketahui warna kulit berasal perempuan   yg memakainya, yaitu apakah kulitnya putih, merah, kuning, hitam serta lain-lain. Jika tak memenuhi kondisi tadi tidak bisa diianggap menjadi penutup aurat. Jika pakaian itu tipis misal brokat, kerudung tipis, kaos kaki tipis, rukuh tipis dan  lain-lain, sebagai akibatnya kelihatan rona kulit (rambut) si pemakai pakaian itu, maka wanita yg memakai pakaian tadi diklaim auratnya tampak atau tidak menutupi auratnya. Dalil bahwa syariat Islam sudah mewajibkan menutup kulit sebagai akibatnya tidak tampak rona kulitnya ialah hadits yang diriwayatkan berasal A’isyah ra, beliau telah meriwayatkan bahwa Asma’ binti Abu Bakar datang kepada Rasulullah Saw dengan memakai baju yg tipis maka Rasulullah memalingkan wajahnya asal Asma’ serta bersabda:

“Wahai Asma’: Sesungguhnya wanita yang sudah haid tidak layak baginya terlihat asal tubuhnya kecuali ini dan  ini…” [HR. Abu Dawud, no. 3580].

Rasulullah pada hadits di atas menganggap baju yg tipis belum menutup aurat dan  menganggap auratnya terbuka, sebagai akibatnya beliau memalingkan wajah dari Asma’ dan  memerintahkan Asma’ buat menutup aurat. Dalil lain yang memperkuat dalam duduk perkara ini merupakan hadits yang diriwayatkan Usamah:

“Perintahkan isterimu buat mengenakan pakaian tipis lagi (gholalah) pada bawah baju tipis tadi. Sesungguhnya saya takut wanita itu tersifati tulangnya.”

Rasulullah Saw saat mengetahui Usamah memakaikan sandang tipis itu pada isterinya, dia menyuruhnya agar isterinya mengenakan sandang tipis lagi di bawah sandang tipisnya itu. Serta Rasulullah memberi illat pada problem itu dengan sabdanya:

“Sesungguhnya saya takut perempuan   itu tersifati tulangnya.”

merupakan wanita wajib  menutup sifat dari tulangnya, tak boleh menggunakan sandang yg tipis, sebagai akibatnya kelihatan warna kulitnya.

Menggunakan demikian wanita harus memperhatikan 2 kondisi tadi saat menentukan jenis dan  bahan sandang epilog aurat termasuk penutup aurat pada depan mahrom dan  perempuan   lain seperti celana tiga/4 hingga lutut, daster serta lain-lain.

Hanya saja apabila wanita selain yg menopause berada pada luar rumah atau tempat-daerah awam (masjid, pasar, jalanan serta lain-lain) maka selain batasan aurat dan  larangan tabarruj, terdapat ketentuan lain yang perlu diperhatikan yaitu adanya kewajiban memakai pakaian spesifik yang sudah diperintahkan Allah berupa khimar (kerudung) serta jilbab (jubah langsungan berasal atas sampai ujung kaki), bukan sandang lain mirip baju panjang atas bawah, kulot panjang dan  lain-lain. Meskipun jenis baju tersebut menutup aurat namun bukan termasuk jilbab, sang sebab itu jenis sandang tadi hanya bisa dipakai sang wanita yang telah menopause serta sudah tidak punya keinginan seksual (Qs. An-Nûr [24]: 60). Buat wanita menopause terdapat satu hal lagi yg perlu diperhatikan dalam berpenampilan yaitu tidak diperbolehkan tabarruj. Oleh sebab itu celana panjang, kaos kaki panjang, kaos stret pas badan tidak boleh digunakan menjadi penutup aurat perempuan   menopause karena termasuk tabarruj (menonjolkan kecantikan dan  perhiasan/bentuk tubuh). Untuk lebih detailnya tentang sandang spesifik di kehidupan awam maka dapat dilihat di pembahasan selanjutnya.

Sandang wanita di pada Kehidupan awam

dalam kehidupan umum , yaitu pada waktu wanita berada pada luar rumahnya/pada hadapan laki-laki  non mahrom, maka seseorang wanita harus memakai pakaian secara tepat, yakni:
1. Menutup aurat;
dua. Menetapi jenis dan  model yg ditetapkan syara’ (menggunakan jilbab, khumur, mihnah dan  memenuhi kriteria irkha’);
2. Tidak tembus pandang;
3. Tidak memberikan bentuk serta lekuk tubuhnya;
4. Tidak tabarruj;
5. Tidak menyerupai pakaian laki-laki ;
6. Tidak tasyabbuh terhadap orang kafir.

Dalil-dalil tentang masalah ini lihat lagi pembahasan pada atas. Adapaun dalil lainnya artinya menjadi berikut:

“Katakanlah pada wanita yg beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan  memelihara kemaluannya, dan  janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak asal padanya. Serta hendaklah mereka menutupkankhumur (kain kerudung) ke juyub (dada)-nya, dan  janganlah menampakkan perhiasanyaa, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki  mereka, atau putera-putera saudara laki-laki  mereka, atau putera-putera saudara wanita mereka, atau perempuan  -wanita Islam, atau budak-budak yg mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki  yg tidak memiliki asa (terhadap wanita) atau anak-anak yg belum mengerti ihwal aurat wanita. Serta janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan  bertaubatlah pada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya engkau  beruntung’.” (Qs. An-Nûr [24]: 31).

Kewajiban menggunakan khumur ada dari perintah dan  hendaklah mereka menutupkan khumur/kain kerudung ke juyub (dada)-nya.

Khumur adalah jama’ dari khimar yaitu kerudung yg menutupi ketua, dan  juyub artinya jama’ berasal kata jaibun yaitu ujung sandang (kancing pembuka) yg terdapat di kurang lebih leher serta pada atas dada. Dengan kata lain khimar ialah kain yang menutupi kepala tanpa menutupi paras, terulur hingga hingga menutupi ujung pakaian bawah (jilbab) yakni kancing baju pada atas dada. Dengan demikian buat bagian atas badan perempuan   diwajibkan mengenakan kerudung yang diulurkan sampai ujung sandang (kancing pembuka)/di atas dada. Sedangkan bawahnya diperintahkan memakai jilbab/jubah. Dalil kewajibannya merupakan sebagai berikut: 

1. Ungkapan Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka sebagaimana disebutkan dalamfirman Allah SWT:

“Hai Nabi katakanlah pada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu serta isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ yang demikian itu agar mereka lebih praktis untuk dikenal, sebab itu mereka tidak diganggu. Serta Allah artinya Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzab [33]: 59).

2. Kebolehan menanggalkan sandang luar (jilbab) bagi wanita menopouse menggunakan ungkapan tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka sebagaimana dalam firman Allah SWT: "serta wanita-wanita tua yg telah terhenti (dari haid serta mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan (tabarruj), dan  berlaku sopan ialah lebih baik bagi mereka. Dan  Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. An-Nûr [24]: 60).

3. Ungkapan galat seorang di antara kami tidak mempunyai jilbab, Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” Sebagimana dalam hadits asal Ummu ‘Athiyah ra. Berkata: Rasulullah memerintahkan kepada kami, nenek-nenek, perempuan   yg sedang haid, perempuan   pingitan untuk keluar pada hari raya Fitri serta Adha. Maka bagi perempuan   yang sedang haid janganlah sholat serta hendaklah menyaksikan kebaikan dan  dakwah kaum muslimin. Saya mengatakan: “Ya Rasulullah salah  seorang pada antara kami tidak memiliki jilbab”, Rasulullah bersabda: “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (HR. Muslim, no 1475].

Di Qs. Al-Ahzab [33]: 59 serta hadist asal Ummu ‘Athiyah, Allah dan  Rasul-Nya memerintahkan muslimah menggunakan sejenis sandang yang diklaim jilbab.

Memahami Pengertian Jilbab

Istilah jilbab dipergunakan di pada al-Qur’an serta Hadits, namun maksud istilah itu wajib  dikembalikan pada maksud yang dipahami sang masyarakat ketika kata itu diturunkan/diungkapkan. Diriwayatkan berasal Ibnu Abbas, beliau berkata jilbab (pada nash tersebut): baju luar yg berfungsi menutupi tubuh berasal atas sampai bawah (tanah). Dalam kamus arab Al-Muhith, jilbab bermakna: sandang yang lebar bagi wanita, yg menutupi tsiyab/mihnah (pakaian harian yang biasa digunakan ketika berada di pada tempat tinggal), bentuknya mirip malhafah (kain penutup dari atas kepala hingga ke bawah). Demikian juga yang disebutkan sang al-Jauhari dalam kitab   Ash Shihah. Definisi jilbab ini jua implisit dalam Qs. An-Nûr [24]: 60 walaupun pada ayat tersebut Allah menggunakan istilah tsiyab untuk menyebut makna jilbab.

Asal Qs. An-Nûr [24]: 60 bisa diambil pemahaman bahwa wanita menopause yang telah tak mempunyai harapan seksual diperbolehkan melepaskan tsiyabnya (sandang luarnya/jilbab), berarti tersisa mihnah, hanya saja selanjutnya diperintahkan buat tidak menampakkan kecantikan, bentuk tubuh, perhiasan (tidak tabarruj) yaitu diperbolehkan memakai baju apa saja homogen mihnah yg tidak menampakkan kecantikan/bentuk tubuh seperti baju atas bawah panjang, daster, kulot panjang dan  lain-lain, tidak seperti celana ketat panjang karena hal itu termasuk tabarruj. Tsiyab disini dipahami pakaian luar/jilbab bukan baju biasa karena tidak mungkin Allah memerintahkan wanita menopause telanjang. Berarti dapat dipahami juga bagi wanita yg belum menopause diwajibkan untuk memakai 3 lapis/jenis pakaian waktu pada hadapan pria non mahrom yaitu kerudung, mihnah dan  jilbab.

Adapun Hadist dari Ummu ‘Athiyah menandakan dengan jelas ketika perempuan   keluar rumah/dihadapan laki-laki  non mahrom diwajibkan memakai pakaian yang digunakan di atas pakaian pada rumah (mihnah), sebagaimana Ummu ‘Athiyah berkata pada Rasulullah Saw: “galat seseorang dari kami tak memiliki jilbab”, maka Rasulullah menjawab: “Hendaklah saudara perempuannya meminjamkan jilbabnya.” ialah Bila seseorang tidak mempunyai jilbab serta saudaranya tidak meminjami maka wanita itu tidak boleh keluar. Inilah indikasi (qarinah) bahwa perintah hadits tadi ialah harus. Serta jilbab yg dimaksudkan pada hadist ini bukan sekedar epilog aurat namun sebagaimana yang diriwayatkan berasal Ibnu Abbas bahwa jilbab: baju luar yang berfungsi menutupi tubuh pribadi asal atas hingga bawah.

Pengertian ini bisa ditemukan pula dalam Tafsir Jalalain (lihat Tafsir Jalalain, jld. III, hal. 1803) yg diartikan menjadi kain yang digunakan seorang wanita buat menutupi semua tubuhnya.

Jilbab selain wajib  luas dipersyaratkan wajib  diulurkan langsung ke bawah sampai menutupi dua telapak kaki. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu abbas dan  juga bisa dipahami asal nash-nash yudnîna ‘alaihinna min jalabibihinna di sini bukan mengarah sebagian namun untuk menjelaskan, sedangkan makna yudnîna adalah yurkhîna ila asfal (mengulurkan hingga ke bawah/ke 2 kaki). Jadi kesimpulannya jilbab harus diulurkan langsung ke bawah (tak pangkas-potong/atas bawah) sampai menutup dua telapak kaki (bukan mata kaki). Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan sang Ibnu Umar. Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda:

“Barang siapa yg menyeret pakaiannya menggunakan arogan maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana yg harus diperbuat para perempuan   terhadap ujung baju (jilbab) mereka?” Rasulullah menjawab: “Hendaklah mereka mengulurkan sejengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi: “jikalau demikian terlihat kaki mereka.” Rasulullah menjawab: “Hendaklah mengulurkan bajunya sehasta serta jangan lebih berasal itu.”

Asal sini kentara bahwa jilbab tidak boleh diulurkan bagian per bagian contohnya baju rabat, namun diulurkannya pribadi berasal atas ke bawah. Selain itu mengulurkannya harus sampai telapak kaki (bukan mata kaki), tidak boleh kurang berasal itu, sang karena itu apabila jilbabnya terulur sampai mata kaki serta sisanya (telapak kaki) ditutup dengan kaos kaki/sepatu, maka hal ini tidak cukup menggantikan keharusan irkha’ (terulurnya baju hingga ke bawah). Dalam hal ini yg perlu diperhatikan ialah adanya irkha’, yaitu jilbab harus diulurkan hingga menutupi kedua telapak kaki sebagai akibatnya bisa diketahui menggunakan kentara bahwa baju itu adalah baju pada kehidupan umum . Jika jilbabnya telah terulur hingga ujung kaki tetapi Jika berjalan kakinya masih terlihat sedikit seperti saat mendapatkan tamu, berjalan pada lebih kurang rumah, maka hal ini tidak apa-apa walaupun permanen dianjurkan buat ‘iffah (berhati-hati/menjaga diri). Hanya saja bila kegiatan wanita tadi membuat kakinya poly terlihat semisal mengendarai sepeda, motor serta lain-lain maka diwajibkan buat menggunakan epilog kaki apa saja mirip kaos kaki, sepatu dan  lain-lain.

Pengertian Tabarruj

Tabarruj sudah diharamkan oleh Allah SWT menggunakan larangan yang menyeluruh pada segala syarat dengan dalil yang jelas. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT:“dan  wanita-perempuan   tua yg sudah terhenti (berasal haid dan  mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka menggunakan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan  berlaku sopan artinya lebih baik bagi mereka. Dan  Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. An-Nûr (24): 60).

Pemahaman berasal ayat ini adalah embargo bertabarruj secara mutlak. Allah membolehkan mereka (wanita yg berhenti haid serta tidak ingin menikah) menanggalkan pakaian luar mereka (jilbab), tanpa bertabarruj.

Sedangkan pengertian tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk bentuk tubuh serta sarana-sarana lain dalam berpenampilan supaya menarik perhatian versus jenis. Sarana lain yang biasa digunakan misalnya wangi-wangian, rona baju yg mencolok atau penampilan eksklusif yg “nyentrik” atau perhiasan yang berbunyi Bila dibawa jalan.

Orang tua (menopouse) boleh tetap mengenakan jilbab dan  boleh pula mengenakan baju apa saja selain jilbab selama tidak menonjolkan perhiasan, kecantikan, bentuk tubuh saat pada kehidupan umum  mirip pada jalan-jalan,pasar, mall, dll. Bila wanita tua saja dilarang buat bertabarruj, maka mafhum muwafaqahnya yaitu perempuan   yang belum berhenti haid lebih dihentikan buat bertabarruj.

Ayat lain yang melarang tabarruj merupakan firman Allah SWT:“dan  janganlah mereka memukulkan kakinya supaya diketahui perhiasan yg mereka sembunyikan.” (Qs. An-Nûr [24]; 31).

Allah pada ayat ini melarang keliru satu bentuk tabarruj, yaitu menggerakkan kaki hingga terdengar bunyi gelang kakinya sehingga orang lain menjadi tahu perhiasan wanita yang menggerakkan kaki tadi, yg berarti wanita tersebut telah menonjolkan perhiasannya. Dalil ini jua mengungkapkan akan embargo tabarruj, yaitu menonjolkan perhiasan.

Tabarruj tidak selaras dengan perhiasan atau berhias. Tidak ada makna syara’ tertentu terhadap istilah tabarruj, sebagai akibatnya penafsiran kata tabarruj diambil berasal makna lughawi (bahasa). Tabarruj secara bahasa berarti menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk keindahan tubuh pada laki-laki  non muhrim. Dalil lain yang pertanda bahwa tabarruj artinya menonjolkan perhiasan, keindahan tubuh di pria asing merupakan seperti yg diriwayatkan berasal Abi Musa Asy Sya’rawi: "perempuan   yang menggunakan parfum, kemudian melewati suatu kaum (sekelompok orang) agar/sampai mereka mencium aromanya maka berarti dia pezina.”

Diriwayatkan jua menggunakan sabda Rasulullah Saw:“2 golongan penghuni neraka, aku  belum melihat sebelumnya ialah: wanita yg berpakaian seperti telanjang dan  wanita yang berjalan lenggak-lenggok pada atas kepala mereka mirip punuk unta, maka mereka tidak akan masuk surga  dan  tidak mendapatkan baunya.”

Kata telanjang, berlenggak-lenggok dan  seperti punuk unta membagikan arti supaya tampak perhiasan serta kecantikannya. Atas dasar ini dapat dimengerti bahwa tabarruj tidak sama menggunakan sekedar perhiasan atau berhias, tetapi bermakna menonjolkan perhiasan.

Adapun mengenai perhiasan, maka aturan Sumbernya ialah mubah untuk dikenakan selama belum ada dalil yang mengharamkanya, hal ini sesuai dengan kaidah syara’, hukum asal suatu benda (asy yâ’) ialah mubah.

Perhiasan merupakan asy yâ’ (benda). Perhiasan apapun bentuknya adalah mubah selama belum ada dalil yg mengharamkannya. Sebagian perhiasan memang diharamkan Allah antara lain: seperti yang terungkap berasal riwayat Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut orang lain, wanita yg rambutnya minta disambungkan, perempuan   yang mentato, serta wanita yang minta ditato.”

Walaupun semula berhias dalam kondisi berkabung dibolehkan tapi bisa menjadi haram manakala berhiasnya memakai perhiasan yg haram dan  apabila berhiasnya sampai menjadikannya termasuk tabarruj yaitu menonjolkan perhiasan dan  kecantikan pada hadapan pria asing (non mahrom).

0 Response to "Beberapa Aturan Dalam Islam Cara Berpakaian, Baik Bagi Laki-Laki Ataupun Perempuan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel