Penjelasan Lengkap Seputar " MAHAR/MAS KAWIN "
Penjelasan Lengkap Seputar " MAHAR/MAS KAWIN "
Pembahasan kali ini sebenarnya merupakan perpanjangan dan perluasan berasal pembahasan pada makalah sebelumnya. Mengingat pada duduk perkara ini terdapat ketentuan-ketentuan serta hukum-hukum tersendiri dan lumayan poly, maka penulis mencoba membahasnya dalam bahasan spesifik. Dalam pembahasan nanti sebagaimana pembaca akan ikuti, penulis mencoba memaparkan segala hal yg erat kaitannya dengan mahar, dan resepsi, mulai berasal jenis serta macam mahar, apa saja yang dapat dijadikan mahar, kapan mahar mampu jatuh dan tidak mesti dibayar, sampai maslah al-Hiba' yakni permohonan sejumlah uang dari kerabat isteri.
Apa itu Mahar?
Mahar atau mas kawin ialah harta atau pekerjaan yg diberikan oleh seorang pria kepada seseorang perempuan sebagai pengganti pada sebuah pernikahan dari kerelaan serta konvensi kedua belah pihak, atau berdasarkan ketetapan dari si hakim. Dalam bahasa Arab, mas kawin tak jarang diklaim menggunakan istilah mahar, shadaq, faridhah serta ajr. Mas kawin disebut dengan mahar yang secara bahasa berarti pintar, mahir, karena menggunakan menikah dan membayar mas kawin, pada hakikatnya pria tersebut telah pintar dan mahir, baik pada urusan rumah tangga kelak ataupun pada membagi waktu, uang serta perhatian.
Mas kawin juga dianggap shadaq yg secara bahasa berarti amanah, Lantaran menggunakan membayar mas kawin mengisyaratkan kejujuran serta kesungguhan si laki-laki buat menikahi perempuan tadi. Mas kawin dianggap menggunakan faridhah yang secara bahasa berarti kewajiban, karena mas kawin adalah kewajiban seseorang pria yg hendak menikahi seorang wanita. Mas kawin jua dianggap menggunakan ajran yg secara bahasa berarti upah, Lantaran dengan mas kawin menjadi upah atau ongkos untuk bisa menggauli isterinya secara halal. Para ulama telah sepakat bahwa mahar hukumnya harus bagi seseorang pria yang hendak menikah, baik mahar tersebut disebutkan atau tidak disebutkan sebagai akibatnya si suami wajib membayar mahar mitsil.
Sang sebab itu, pernikahan yang tak memakai mahar, maka pernikahannya tak sah karena mahar termasuk galat satu syarat sahnya sebuah pernikahan, sebagaimana telah dijelaskan pada makalah sebelumnya.
Apa saja yg boleh dijadikan mahar?
Mas kawin tidak mesti berupa uang atau mal, akan tetapi boleh pula hal-hal lainnya. Buat lebih jelasnya, ini dia hal-hal yg dapat dijadikan mas kawin atau mahar:
1. Seluruh benda atau indera tukar (uang) yg dapat dijadikan harga dalam jual beli mirip uang atau benda-benda lainnya yg biasa diperjualbelikan dengan syarat benda atau uang tersebut, halal, suci, berkembang, bisa dimanfaatkan serta dapat diserahkan.
Sang sebab itu, harta hasil curian, tidak dapat dijadikan mas kawin sebab beliau barang haram bukan halal. Demikian jua, peternakan babi tidak dapat dijadikan mas kawin sebab bendanya tidak kudus. Piutang yg belum jelas kembalinya, pula tidak dapat dijadikan mas kawin Lantaran tidak bisa diserahkan. Point pertama ini didasarkan kepada ayat berikut ini:
ْﻢُﻜِﻟاَﻮْﻣَﺄِﺑ اﻮُﻐَﺘْﺒَﺗ ْنَأ ْﻢُﻜِﻟَذ َءاَرَو ﺎَﻣ ْﻢُﻜَﻟ ﱠﻞِﺣُأَو
adalah: "serta dihalalkan bagi kamu selain yg demikian (yaitu) mencari istri-istri menggunakan hartamu…" (QS. An-Nisa: 24).
Istilah amwal pada ayat di atas dipahami oleh para ulama menjadi mas kawin, mahar.
Dua. Semua pekerjaan yang dapat diupahkan.
Dari Madzhab Syafi'i serta Hanbali, pekerjaan yg dapat diupahkan, boleh pula dijadikan mahar. Contohnya, mengajari membaca al-Qur'an, mengajari ilmu kepercayaan , bekerja dipabriknya, menggembalkan ternaknya, membantu membersihkan tempat tinggal , ladang atau yang lainnya. Misalnya, seorang laki-laki mengatakan: "aku terima pernikahan saya dengan putri bapak yang bernama Siti Maimunah menggunakan mas kawin akan mengajarkan membaca al-Qur'an kepadanya selama dua tahun, atau menggunakan mas kawin mengurus ladang dan ternaknya selama 2 bulan". Tapi berdasarkan Abu Hanifah dan Imam Malik, mahar dengan pekerjaan yg bisa diupahkan hukumnya makruh (dibenci).
Penulis lebih condong buat mengambil pendapat madzhab Syafi'i yang membolehkan kerja menjadi mas kawin. Hal ini sebagaimana telah terjadi waktu Nabi Musa menikahi salah seseorang gadis pria tua (dalam satu riwayat dikatakan laki-laki tua itu artinya Nabi Syuaib), menggunakan mas kawin bekerja untuk laki-laki tua itu (calon mertuanya) selama delapan tahun sebagaimana difirmankan oleh Allah swt pada surat al-Qashash ayat 27:
َﺖْﻤَﻤْﺗَأ ْنِﺈ َﻓ ٍﺞ َﺠِﺣ َﻲِﻥﺎ َﻤَﺛ ﻲِﻥَﺮُﺟْﺄَﺗ ْنَأ ﻰ َﻠَﻋ ِﻦْﻴَﺗﺎ َه ﱠﻲَﺘَﻨْﺑا ىَﺪْﺣِإ َﻚ َﺤِﻜْﻥُأ ْنَأ ُﺪ ﻳِرُأ ﻲﱢﻥِإ َلﺎَﻗ ْﻨِﻋ ْﻦِﻤَﻓ اًﺮْﺸَﻋ َكِﺪ
adalah: "Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya saya bermaksud menikahkan kamu dengan galat seorang berasal ke 2 anakku ini, atas dasar bahwa engkau bekerja denganku delapan tahun dan Jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu merupakan suatu kebaikan) berasal kamu" (QS. Al-Qashash:27).
Dalil lain bolehnya kerja dijadikan sebagai shadaq, mas kawin adalah hadits berikut ini:
ﻢﻠﺱو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺹ ﷲا لﻮﺱر لﺎﻗ )) : ﺐهذا , نﺁﺮﻘﻟا ﻦﻣ ﻚﻌﻣ ﺎﻤﺑ ﺎﻬﻜﺘﺤﻜﻥأ ﺪﻘﻓ ] (( ﻩاور ىرﺎﺨﺒﻟا [
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Pergilah sesungguhnya saya telah menikahkan kamu
dengannya dengan apa ayat-ayat al-Qur'an yang kamu hapal" (HR. Bukhari).
Sebagian ulama menakwilkan kata bima ma'aka minal qur'an dengan akan mengajarkan
satu atau beberapa surat dari al-Qur'an.
3. Membebaskan budak.
Menurut Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Imam Daud ad-Dhahiry, bahwa membebaskan budak dapat dijadikan sebagai mas kawin. Maksudnya, apabila seseorang hendak menikahi seorang wainta yang masih menjadi budak belian, kemudian ia membebaskannya dan menjadikan pembebasannya itu sebagai mas kawinnya, maka boleh-boleh saja. Sedangkan menurut sebagian ulama lain, membebaskan budak tidak boleh dijadikan sebagai mas kawin.
Dalil kelompok yang membolehkan adalah dalam sebuah hadits dikatakan bahwa
Rasulullah saw menikahi Shafiyyah dengan maskawin membebaskannya dari budak belian menjadi seorang yang merdeka dan dalam hadits tersebut tidak ada keterangan bahwa hal itu khusus untuk Rasulullah saw. Karena tidak ada keterangan kekhususan itulah, maka ia berarti berlaku dan diperbolehkan juga untuk seluruh ummatnya termasuk kita. Hadits dimaksud adalah sebagai berikut:
ﺲﻥأ ﻦﻋ )) : ﺎﻬﻗاﺪﺹ ﺎﻬﻘﺘﻋ ﻞﻌﺟو ﺔﻴﻔﺹ ﻖﺘﻋأ ﻢﻠﺱو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺹ ﷲا لﻮﺱر نأ ((
] ﻢﻠﺴﻣو ىرﺎﺨﺒﻟا ﻩاور [
Artinya: "Dari Anas, bahwasannya Rasulullah saw membebaskan Shafiyyah dan menjadikan pembebasannya itu sebagai mas kawinnya" (HR. Bukhari Muslim).
Sedangkan bagi yang menolak mengatakan bahwa hadits di atas adalah khusus untuk Rasulullah saw saja. Artinya, mas kawin dengan membebaskan budak itu hanya diperbolehkan untuk Rasulullah saw saja dan tidak yang lainnya. Namun demikian, penulis lebih condong untuk mengambil pendapat yang membolehkan karena sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidak ada keterangan dan dalil lain yang mengatakan bahwa hal itu khusus untuk Rasulullah saja. Karena tidak ada keterangan yang mengkhususkan itulah, hukum yang dikandung dalam hadits di atas berlaku umum termasuk juga untuk ummatnya.
4. Masuk Islam.
Bolehkah seorang laki-laki masuk Islam lalu masuk Islamnya itu dijadikan sebagai mas kawin? Para ulama berbeda pendapat. Bagi Jumhur ulama, masuk Islamnya seseorang boleh dijadikan mas kawin. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut ini:
لﺎﻗ ﺲﻥأ ﻦﻋ )) : ﻢﻴﻠﺱ مأ ﺔﺤﻠﻃ ﻮﺑأ جوﺰﺗ , مﻼﺱﻹا ﺎﻤﻬﻨﻴﺑ ﺎﻣ قاﺪﺹ نﺎﻜﻓ , مأ ﺖﻤﻠﺱأ
ﺎﻬﺒﻄﺨﻓ ﺔﺤﻠﻃ ﻰﺑأ ﻞﺒﻗ ﻢﻴﻠﺱ , ﺖﻟﺎﻘﻓ : ﺖﻤﻠﺱأ ﺪﻗ ﻰﻥإ , ﻚﺘﺤﻜﻥ ﺖﻤﻠﺱأ نﺈﻓ , نﺎﻜﻓ ﻢﻠﺱﺄﻓ ﺎﻤﻬﻨﻴﺑ ﺎﻣ قاﺪﺹ ] (( ﻰﺋﺎﺴﻨﻟا ﻪﺟﺮﺥأ [
Artinya: Anas berkata: "Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim dengan mas kawinnya adalah masuk Islam (masuk Islamnya Abu Thalhah). Ummu Sulaim masuk Islam sebelum Abu Thalhah. Kemudian Abu Thalhah meminangnya. Ketika meminangnya, Ummu Sulaim berkata: "Saya sudah masuk Islam, jika kamu masuk Islam juga, maka saya siap menikah dengan kamu". Abu Thalhah akhirnya masuk Islam dan masuk Islamnya itu dijadikan sebagai mas kawin keduanya" (HR. Nasa'i).
Sedangkan ulama yang mentidakbolehkan masuk Islamnya seseorang dijadikan mas kawin adalah Ibnu Hazm. Ibnu Hazm memberikan catatan penting untuk hadits di atas dengan mengatakan:
Pertama, kejadian dalam hadits di atas terjadi beberapa saat sebelum hijrah ke Madinah, karena Abu Thalhah termasuk sahabat Rasulullah saw dari golongan Anshar yang masuk Islam paling awal. Dan pada saat itu, belum ada kewajiban mahar bagi wanita yang hendak dinikahi.
Kedua, dalam hadits di atas juga tidak disebutkan bahwa kejadian itu diketahui oleh
Rasulullah saw. Karena tidak diketahui oleh Rasulullah saw, maka posisinya tidak mempunyai ketetapan hokum, karena Rasulullah saw tidak mengiyakannya juga tidak melarangnya. Karena tidak ada kepastian hokum itulah, maka ia harus dikembalikan kepada asalnya, bahwa ia tidak bias dijadikan sebagai mas kawin.
Berapa batas minimal dan maksimal mas kawin itu?
Para ulama telah sepakat bahwa tidak ada batasan maksimal bagi seorang laki-laki dalam memberikan mas kawinnya. Ia boleh memberikan jumlah yang sangat besar atau lebih besar lagi. Dalam hal ini Imam Ibnu Taimiyyah berkata dalam bukunya Majmu al-Fatawa: 32/195):
"Bagi orang yang memiliki kelapangan rezeki kemudian ia bermaksud memberikan mas kawin dalam jumlah yang sangat besar, maka tidak mengapa dan boleh-boleh saja sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam surat an-Nisa ayat 20:
" …Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka (isteri-isteri) harta yang banyak…".
Adapun bagi orang yang tidak cukup lapang untuk memberikan mas kawin dalam
jumlah yang banyak, lalu ia memaksakan diri memberikannya karena alasan gengsi atau yang lainnya, maka hukumnya adalah makruh". Sedangkan mengenai batas minimal mas kawin, para ulama mengatakan bahwa berapa saja jumlahnya selama itu berupa harta atau hal lain yang disamakan dengan harta dan disetujui serta direlakan oleh si calon mempelai wanita, maka hal demikian boleh-boleh saja. Pendapat ini adalah pendapat Jumhur ulama seperti Imam Syafi'I, Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Imam Auzai dan lainnya. Bahkan Ibn Hazm membolehkan kurang dari itu. Ibn Hazm mengatakan bahwa setiap hal yang dapat dibagi dua, boleh dijadikan mas kawin sekalipun ia berupa biji gandum selama ada kerelaan dari calon isteri.
Dalil yang mengatakan bahwa tidak ada batas minimal dalam mas kawin ini adalah berikut ini :
1. Keumuman dari ayat berikut ini:
ُﻜِﻟ ا َﻮْﻣَﺄِﺑ اﻮُﻐَﺘْﺒَﺗ ْنَأ ْﻢُﻜِﻟَذ َءاَرَو ﺎَﻣ ْﻢُﻜَﻟ ﱠﻞِﺣُأَو َﻦﻴِﺤِﻓﺎَﺴُﻣ َﺮْﻴَﻏ َﻦﻴِﻨِﺼْﺤُﻣ ْﻢ ) ءﺎﺴﻨﻟا : 24 (
Artinya: "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina" (QS. An-Nisa: 24).
Kata "harta" dalam ayat di atas mencakup harta yang sedikit juga harta yang banyak. Dalam ayat di atas juga tidak disebutkan berapa batasa minimal mas kawin, dan karena tidak dijelaskan batas minimalnya itulah, maka boleh dengan berapa saja selama ada keridhaan dari si calon isteri.
2. Hadit berikut ini di mana Rasulullah saw berkata kepada laki-laki yang siap menikahi seorang wanita yang menyerahkan dirinya untuk dinikahi oleh Rasulullah saw, namun Rasulullah saw tidak berkeinginan menikahinya:
ﻢﻠﺱو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺹ ﻲﺒﻨﻟا لﺎﻗ : لﺎﻗ ؟ءﻰﺵ ﻦﻣ ﻚﻌﻣ ﻞه : ﻻ , لﺎﻗ )) : ﻮﻟو ﺐﻠﻃﺎﻓ ﺐهذا ﺪﻳﺪﺣ ﻦﻣ ﺎﻤﺗﺎﺥ ] (( ﻢﻠﺴﻣ ﻪﺟﺮﺥأ [
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Apakah kamu mempunyai sesuatu untuk mas kawinnya?" Lakilaki itu menjawab: "Tidak" Rasulullah saw bersabda kembali: "Carilah sekalipun sebuah cincin dari besi" (HR. Muslim).
Dalam hadits di atas juga tegas bahwa mahar boleh dengan apa saja selama ia berupa harta termasuk sekalipun berupa cincin besi.
Mas Kawin yang berlebihan dan memberatkan.
Bagaimana pandangan hukum Islam tentang mas kawin yang sangat memberatkan dan berlebihan / mahal? Mungkin untuk konteks Indonesia hal ini tidak banyak terjadi mengingat di Indonesia, mas kawin umumnya sederhana dan tidak mahal. Namun, untuk konteks Negara-negara arab semisal Mesir, Saudi Arabia dan yang lainnya, mahar sangatlah mahal dan memberatkan kaum laki-laki. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila umumnya kaum laki-laki menikah di atas kepala tiga (umumnya menikah setelah usia 35 tahun), karena mereka harus mengumpulkan uang sebanyak mungkin demi membayar mahar yang sangat mencekik. Sebaliknya, akibat mahar yang mahal ini, banyak gadis-gadis tua belum menikah. Yang terjadi? Mereka gadis-gadis tua "siap" menjadi isteri-isteri kedua, ketiga bahkan isteri simpanan.
Bukan hanya itu, dengan mahalnya mahar dan biaya pernikahan ini, banyak terjadi pernikahan Urfi di kalangan anak-anak muda sebagaimana telah disinggung dalam makalah sebelumnya Meski di Negara Indonesia, persoalan mahalnya mas kawin tidak menjadi masalah, akan tetapi di beberapa tempat dan daerah, umumnya juga sama dengan adat Arab, mahalnya mas kawin. Untuk itu, mari kita sama-sama perhatikan bagaimana Islam melihat masalah di atas.
1. Hal paling pertama yang harus ditegaskan di sini, bahwa dalam ajaran Islam, pada dasarnya mas kawin itu tidak boleh memberatkan ia harus ringan dan memudahkan. Perhatikan hadits-hadits berikut ini:
ﻢﻠﺱو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺹ ﷲا لﻮﺱر لﺎﻗ )) : ﻩﺮﺴﻳأ قاﺪﺼﻟا ﺮﻴﺥ (( ] ﻢآﺎﺤﻟا ﻩاور [
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Sebaik-baik mas kawin adalah yang paling meringankan" (HR. Imam Hakim).
ﺖﻠﺌﺱ ﺎﻤﻟ ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻦﻋ : ﺖﻟﺎﻗ ؟ﻢﻠﺱو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺹ ﷲا لﻮﺱر قاﺪﺹ نﺎآ ﻢآ )) : ﻪﻗاﺪﺹ نﺎآ ﺎﺸﻥو ﺔﻴﻗوأ ةﺮﺸﻋ ﻰﺘﻨﺛ ﻪﺟاوزﻷ , ﻢهرد ﺔﺋﺎﻤﺴﻤﺥ ﻚﻠﺘﻓ , ﻪﺟاوزﻷ ﷲا لﻮﺱر قاﺪﺹ اﺬﻬﻓ (( ] ﻢﻠﻤﺴﻣ ﻩاور [
Artinya: Dari Siti Aisyah ketika ditanya, berapa mas kawin Rasulullah saw? Siti Aisyah menjawab: "Mas kawin Rasulullah saw kepada isteri-isterinya adalah dua belas setengah Uqiyah (nasya' adalah setengah Uqiyah) yang sama dengan lima ratus dirham. Itulah mas kawin Rasulullah saw kepada isteri-isterinya" (HR. Muslim).
ﻢﻠﺱو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺹ ﷲا لﻮﺱر لﺎﻗ )) : ﺎﻗاﺪﺹ ﻦهﺮﺴﻳأ ﺔآﺮﺑ ءﺎﺴﻨﻟا ﻢﻈﻋأ ] (( ﻢآﺎﺤﻟا ﻩاور ﻰﻘﻬﻴﺒﻟاو [
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang paling banyak berkahnya adalah yang paling ringan mas kawinnya" (HR. Hakim dan Baihaki).
Demikian juga dengan hadits-hadits sebelumnya yang menerangkan bahwa mas kawin tersebut dengan cincin dari besi, masuk Islam dan membebaskan budak. Semua ini menunjukkan bahwa mas kawin yang paling baik adalah yang ringan tidak memberatkan. Bahkan, dalam hadits di atas disebutkan, mas kawin yang ringan akan membuat rumah tangganya lebih berkah dan langgeng.
2. Apabila si calon suami berada dalam kelapangan rizki, dan kaya, maka sebaiknya ia memperbanyak mas kawinnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Shahih riwayat Imam Abu Daud dan Nasai bahwa Raja Najasyi pernah menikahkan Rasulullah saw dengan Ummu Habibah dengan mas kawin empat ribu dirham, padahal mas kawin Rasulullah saw dengan isteri-isterinya yang lain tidak lebih dari 400 dirham.
Ini menunjukkan bahwa apabila calon suaminya memang orang yang kaya, maka sebaiknya memberikan mahar yang besar, namun apabila tidak mampu dan miskin, maka tidak boleh memberatkan dan tidak boleh terlalu memaksakan diri. Hadits di atas juga sebagai dalil bahwa mas kawin boleh bersumber dari pemberian seseorang, tidak mesti dari usaha sendiri, sebagaimana dalam hadits di atas, mas kawin Rasulullah saw dibayarkan oleh Raja Najasyi.
Mas kawin adalah hak si perempuan bukan hak walinya.
Mahar atau mas kawin dalam ajaran Islam merupakan hak calon mempelai wanita dan bukan hak wali. Oleh karena itu, besar kecilnya mahar ditentukan oleh wanita bukan oleh walinya. Namun, tidak mengapa apabila si wanita tersebut berunding dengan walinya untuk menentukan berapa besarnya mas kawin. Meski demikian, keputusan terakhir tetap di tangan si wanita. Apabila si wanita menentukan jumlah mahar terntentu kemudian si wali juga menentukan jumlah tertentu, maka yang diambil adalah ucapan si wanita. Oleh karena mahar adalah hak si wanita, maka si wali ataupun yang lainnya tidak boleh mengambil seluruh atau sebagian jumlah mahar tersebut tanpa ada izin dari si wanita. Oleh karena itu, ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa seorang suami tidak boleh membayar mahar kecuali kepada isterinya atau kepada orang yang diwakilkan oleh isterinya.
Di antara dalil bahwa mahar itu adalah hak si calon mempelai wanita adalah:
ﺎًﺌﻳِﺮَﻣ ﺎًﺌﻴِﻨَه ُﻩﻮُﻠ ُﻜَﻓ ﺎًﺴْﻔَﻥ ُﻪْﻨِﻣ ٍءْﻲَﺵ ْﻦَﻋ ْﻢُﻜَﻟ َﻦْﺒِﻃ ْنِﺈَﻓ ًﺔَﻠْﺤِﻥ ﱠﻦِﻬِﺗﺎَﻗُﺪَﺹ َءﺎَﺴﱢﻨﻟا اﻮُﺗاَءَو
Artinya: "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya" (QS. An-Nisa: 4).
ًﺔَﻀﻳِﺮَﻓ ﱠﻦُهَرﻮُﺟُأ ﱠﻦُهﻮُﺗﺂَﻓ ﱠﻦُﻬْﻨِﻣ ِﻪِﺑ ْﻢُﺘْﻌَﺘْﻤَﺘْﺱا ﺎَﻤَﻓ
Artinya: "Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban" (QS. An-Nisa: 24).
Macam-macam mahar
Dari segi jumlah dan besar nilainya, mahar terbagi kepada dua bagian: Musamma (yang disebutkan, diucapkan) dan Ghair Musamma (tidak disebutkan). Sedangkan dari segi waktu pembayarannya, mahar terbagi kepada Mu'ajjal / ﻞﺠﻌﻣ (dibayar kontan saat itu juga) dan Muajjal / ﻞﺟﺆﻣ (ditangguhkan, dibayar setengahnya dahulu dan sisanya dibayar belakangan). Sementara dari segi besar atau jumlah mahar yang berhak dimiliki oleh si isteri, mahar terbagi kepada mahar al-kull (mas kawin di mana si isteri harus mendapatkan semua mahar), mahar an-nishf (si isteri hanya berhak mendapatkan setengah dari jumlah mahar) dan al-mut'ah (pemberian biasa bagi setiap wanita yang ditalak sebagai hadiah atau hibah).
Mahar Musamma dan Mahar Ghair Musamma atau Mahar al-Maskut 'Anhu
Mahar Mutsamma adalah mahar yang disebutkan. Maksudnya, antara si wanita dan si calon suaminya berunding untuk menentukan berapa jumlah mas kawinnya. Apabila kedua belah pihak sepakat dengan jumlah tertentu, misalnya mahar yang diminta oleh wanita sebesar satu juta, dan si laki-laki siap memenuhinya, maka mahar tersebut disebut dengan Mahar Mutsamma karena si isteri menentukan jumlah mas kawinnya secara jelas dan tegas. Penentuan ini penting dilakukan, agar tidak terjadi pertentangan, perselisihan dan ribut di kemudian hari. Apabila si calon suami telah menyanggupi untuk
memenuhi mahar yang diminta oleh si wanita tersebut, maka si laki-laki wajib membayarnya secara penuh dan sempurna tidak boleh kurang sedikit pun. Sedangkan apabila si wanita tidak menentukan berapa jumlah maharnya secara tegas, misalnya ia mengatakan: "Neneng mah terserah aa saja, berapa juga mahar yang aa berikan, neneng mah akan terima yang penting aa sayang sama neneng", maka mahar tersebut disebut Mahar Ghari Musamma atau Mahar al-Maskut 'Anhu. Ketika si isteri tidak menentukan jumlah nominal maharnya, maka si calon suami harus membayar Mahar Mitsil.
Mahar Mitsil secara bahasa berarti mahar yang sebanding atau yang sama. Maksudnya, si calon suami harus melihat berapa besar mas kawin yang diterima oleh bibi atau tante si wanita tersebut dari pihak ayahnya, atau berapa mas kawin yang diterima oleh bibi bapak wanita tersebut. Apabila misalnya tante dari pihak bapaknya ketika menikah dahulu menerima mas kawin sebesar satu juta rupiah, maka si calon suami pun harus membayar mas kawin untuk wanita tersebut minimal sebesar satu juta rupiah. Apabila, si wanita tersebut tidak mempunyai bibi dari pihak ayahnya, maka si calon suami tersebut harus melihat berapa umumnya besar mas kawin yang berlaku di daerah tersebut. Apabila di daerah tersebut umumnya jumlah mas kawin itu 500 ribu rupiah, maka si calon suami harus membayarnya minimal sebesar 500 ribu rupiah. Mengapa harus disamakan dengan bibi atau daerah setempat?
Hal ini agar tidak terjadi saling olok, atau merasa direndahkan dan tidak dihargai. Terutama apabila si isteri nanti ngobrol sama keluarga atau teman-teman wanita sekampungnya dan ditanya jumlah mas kawin yang diterimanya, maka apabila mas kawin yang diterimanya sama dengan mereka, tentu tidak akan menimbulkan perasaan rendah diri atau minder.
Dalam akad nikah, mas kawin boleh tidak disebutkan, apabila ditakutkan pamer atau riya. Misalnya ketika akad nikah ia hanya mengatakan: "Saya terima pernikahan putri Bapak yang bernama Siti Karomah". Pernikahan yang tidak disebutkan mas kawinnya ketika akad nikah, dalam istilah fiqih disebut dengan Nikah Tafwidh dan menurut Ijma para ulama sah serta boleh-boleh saja.
Mahar Mu'ajjal dan Mahar Muajjal
Mahar Mu'ajjal adalah mahar yang dibayar secara kontan semuanya sebelum suami isteri itu melakukan hubungan badan (dukhul). Umumnya mahar ini diserahkan ketika akad nikah atau setelah akad nikah dengan catatan keduanya belum berhubungan badan. Sedangkan apabila mahar tersebut dihutang atau dibayar sebagian ketika akad dan sisanya dibayar belakangan setelah berhubungan badan atau setelah berumah tangga, maka mahar ini disebut Mahar Muajjal (mahar yang ditangguhkan). Mahar Muajjal diperbolehkan dengan catatan ada keridhaan dan idzin dari calon mempelai wanita. Apabila mahar itu ditangguhkan, maka sisa mahar yang belum dibayar menjadi hutang bagi si laki-laki dan harus dibayar sampai kapanpun. Kedua mahar di atas sah-sah saja, hanya lebih utama dilakukan mahar mu'ajjal, yakni dibayar ketika akad sebelum keduanya menikmati malam pertama. Hal ini didasarkan pada dalil berikut ini:
ﱠﻦُهَرﻮُﺟُأ ﱠﻦُهﻮُﻤُﺘْﻴَﺗاَء اَذِإ ﱠﻦُهﻮُﺤِﻜْﻨَﺗ ْنَأ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ َحﺎَﻨُﺟ ﺎَﻟَو ) ﺔﻨﺤﺘﻤﻤﻟا : 10 (
Artinya: "Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya" (QS. Al-Mumtahanah: 20).
Demikian juga dengan hadits berikut ini ketika Ali bin Abi Thalib menikahi putri Rasulullah saw, Siti Fatimah, Rasulullah saw bersabda:
ﻪﻟ لﺎﻗ : ﺎﺌﻴﺵ ﺎﻬﻄﻋا . لﺎﻘﻓ : ءﻰﺵ ﻦﻣ ىﺪﻨﻋ ﺎﻣ , لﺎﻗ : ﻲﻠﻋ لﺎﻗ ؟ﺔﻴﻤﻄﺤﻟا ﻚﻋرد ﻦﻳﺄﻓ : ﻲه لﺎﻘﻓ ىﺪﻨﻋ : ﺎهﺎﻳإ ﺎﻬﻄﻋﺄﻓ (( ] ﻲﺋﺎﺴﻨﻟاو دواد ﻮﺑأ ﻪﺟﺮﺥأ [
Artinya: Rasulullah saw bersabda kepada Ali bin Abi Thalib: "Berikanlah sesuatu kepadanya (sebagai mas kawin)?" Ali menjawab: "Saya tidak mempunyai sesuatu apapun". Rasulullah saw bersabda kembali:
"Mana baju besimu yang telah retak itu?" Ali menjawab: "Ini ada pada saya". Rasulullah saw bersabda kembali: "Berikanlah kepadanya (kepada Fathimah bint Rasulullah saw)" (HR. Abu Dawud dan Imam Nasai).
Kedua keterangan di atas merupakan di antara dalil lebih utamanya membayar mas kawin mu'ajjal, sesegera mungkin sebelum dukhul. Pertanyaan sekarang, apabila mahar itu muajjal, yakni sebagiannya dibayar kontan dan sebagiannya lagi ditangguhkan, kapan pembayaran sisa maharnya yang ditangguhkan itu? Pembayaran sisa maharnya itu tergantung kesiapan si laki-laki ketika akad atau sebelum akad nikah dahulu. Apabila sebelum akad atau ketika akad, si laki-laki menyebutkan waktu tertentu untuk membayar sisa mahar misalnya ia mengatakan bahwa sisa maharnya akan dibayar setahun setelah pernikahan, maka sisa mahar tersebut harus dibayar persis setelah waktu setahun pernikahan, karena itu yang diucapkan ketika akad nikah. Dan para ulama sepakat bahwa maharnya sah. Namun apabila, dalam akad nikah atau sebelum akad nikah ia tidak menyebutkan waktu tertentu untuk membayar sisa maharnya itu, misalnya dia mengatakan: "Sisa maharnya akan saya bayar sampai saya betul-betul ada cukup uang", maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:
Menurut Syafi'iyyah, mahar tersebut batal karena dipandang majhul, tidak jelas waktu pembayaran sisanya; kapan dia memiliki cukup uangnya itu? Ini jelas masih belum jelas dan tidak tegas. Karena maharnya batal, maka ia harus membayar mahar mitsil. Misalnya, apabila si suami dan si wanita sepakat dengan mahar satu juta, kemudian si suami membayar setengahnya yakni 500 ribu ketika akad dan sisanya ia tangguhkan, namun, tidak menyebutkan waktu tertentu pembayarannya, maka menurut Syafi'iyyah, mahar yang disepakati tadi tidak sah dan harus dibatalkan. Sebagai gantinya, si suami harus membayar mahar mitsil. Sedangkan menurut Malikiyyah, apabila ketika akad nikah si laki-laki tidak menyebutkan waktu tertentu untuk membayar sisa maharnya itu, atau menyebutkan waktu tertentu tapi ia mengatakan: "sampai isteri saya meninggal atau sampai terjadi perceraian", maka akadnya menjadi tidak sah. Namun, apabila si suami tersebut telah mendukhul (menyetubuhi) isterinya, maka si suaminya harus membayar mahar mitsil.
Adapun menurut Ulama Hanafiyyah dan Hanabilah, mahar muajjal yang tidak disebutkan waktu tertentu untuk membayar sisa maharnya ketika akad atau sebelum akad, sah-sah saja. Dan waktu pembayaran sisanya ditangguhkan sampai salah satunya meninggal dunia atau terjadi perceraian. Pendapat Hanafiyyah dan Hanabilah inilah, hemat penulis, pendapat yang lebih rajih (lebih kuat) dibandingkan dengan pendapat-pendapat lainnya. Dan pendapat Hanafiyyah serta Hanabilah ini diterapkan hampir di seluruh Negara-negara Arab termasuk di Mesir. Untuk konteks Mesir yang hokum perundang-undangan mengenai pernikahannya berdasarkan madzhab Hanafi sebagaimana telah disinggung dalam makalah sebelumnya, bagi para calon suami yang ekonominya pas-pasan, umumnya lebih memilih mahar muajjal. Dalam prakteknya, setengah mahar dibayar sebelum dukhul (bersenggama) atau ketika akad nikah dan setengahnya lagi ditangguhkan dan dibayarkan ketika nanti terjadi perceraian atau salah satu pihak ada yang meninggal. Mahar Muajjal ini di Indonesia jarang terjadi mengingat maharnya yang ringan dan tidak memberatkan. Umumnya masyarakat muslim Indonesia memilih mahar mu'ajjal, maharnya dibayar kontan sebelum dukhul.
Baca juga :
- Inilah Penjelasan Tentang Al-quran yang Menjadi Imam Kita
- Teladan Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib
- Inilah Keistimewaan & Pahala Adzan Bagi Para Muadzin
- Cara Mencari Istri yang Baik dan Tepat Menurut Islam
- Inilah Beberapa Pertanyaan Tentang Aurat Perempuan Lebih Banyak Daripada Laki - Laki
Mahar Penuh (al-Kull) dan Mahar Setengahnya (an-Nishf).
Kapan seorang istri berhak mendapatkan mahar penuh? Sebelum dibahas lebih lanjut, perlu penulis jelaskan terlebih dahulu, apa yang dimaksud dengan mahar penuh ini. Mahar penuh adalah mahar yang harus diterima oleh si isteri secara penuh, seluruhnya sesuai dengan kesepakatan bersama antara si wanita dengan laki-laki. Misalnya, apabila si suami akan memberikan mahar kepada isterinya itu satu juta rupiah, maka yang dimaksud dengan mahar penuh adalah si isteri harus mendapatkan mas kawin sebesar satu juta tanpa dikurangi sedikitpun. Setelah jelas maksud dari mahar penuh ini, kini mari kita bahas bersama kapan seorang istri berhak mendapatkan mahar penuh itu?
Seorang isteri berhak mendapatkan mahar penuh apabila dalam keadaan berikut ini:
1. Apabila si isteri telah disetubuhi.
Para ulama sepakat bahwa apabila si isteri telah digauli oleh suaminya, maka ia berhak mendapatkan mahar penuh. Hal ini didasarkan kepada firman Allah berikut ini dalam surat an-Nisa ayat 20-21:
ﺎًﺌْﻴَﺵ ُﻪ ْﻨِﻣ اوُﺬُﺥْﺄَﺗ ﺎَﻠَﻓ اًرﺎَﻄْﻨِﻗ ﱠﻦُهاَﺪْﺣِإ ْﻢُﺘ ْﻴَﺗاَءَو ٍجْوَز َنﺎ َﻜَﻣ ٍجْوَز َلاَﺪْﺒِﺘْﺱا ُﻢ ُﺗْدَرَأ ْنِإَو ﺎًﻨﻴِﺒُﻣ ﺎًﻤْﺛِإَو ﺎًﻥﺎَﺘْﻬُﺑ ُﻪَﻥوُﺬُﺥْﺄَﺗَأ * َﻟِإ ْﻢُﻜُﻀْﻌَﺑ ﻰَﻀْﻓَأ ْﺪَﻗَو ُﻪَﻥوُﺬُﺥْﺄَﺗ َﻒْﻴَآَو ْﻢُﻜْﻨ ِﻣ َنْﺬ َﺥَأَو ٍﺾْﻌَﺑ ﻰ ﺎًﻈﻴِﻠَﻏ ﺎًﻗﺎَﺜﻴِﻣ ) * ءﺎﺴﻨﻟا : 20 - 21 (
Artinya: "Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat" (QS. An-Nisa: 20-21).
Apabila si suami tadi telah mendukhulnya lalu menceraikannya, maka si isteri berhak mendapatkan mahar penuh, dan si suami tidak boleh meminta atau mengambil sedikitpun dari mahar tersebut. Hal ini dikarenakan, dalam istilah para ahli fiqih (fuqaha), bahwa mahar itu sebagai ganti dari telah disetubuhinya si isteri. Demikian juga, apabila si isteri dinikahi oleh suaminya dengan pernikahan yang batal, misalnya pernikahan tersebut tidak memakai wali padahal wali merupakan salah satu syarat sah nikah, dan si isteri tersebut telah didukhul, maka tetap si isteri berhak mendapatkan mahar pernuh.
Hal ini didasarkan kepada hadits berikut ini:
ﻢﻠﺱو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺹ ﻲﺒﻨﻟا لﺎﻗ )) : ﻞﻃﺎﺑ ﺎﻬﺣﺎﻜﻨﻓ ﺎﻬﻴﻟو نذإ ﺮﻴﻐﺑ ﺖﺤﻜﻥ ةأﺮﻣا ﺎﻤﻳأ —
ﺎﺛﻼﺛ — ﺎﻬﺟﺮﻓ ﻦﻣ ﻞﺤﺘﺱا ﺎﻤﺑ ﺮﻬﻤﻟا ﺎﻬﻠﻓ ﺎﻬﺑ ﻞﺥد نﺈﻓ ] (( ﻪﺟﺎﻣ ﻦﺑاو دواد ﻮﺑأ ﻪﺟﺮﺥأ ﺪﻤﺣأو [
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Wanita mana saja yang dinikahi tanpa ada idzin dari walinya, maka pernikahannya adalah batal—beliau sebutkan hal itu sebanyak tiga kali—Apabila ia menggauli isterinya itu, maka si isteri tersebut berhak mendapatkan mahar karena telah dihalalkan kehormatannya" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Imam Ahmad).
Demikian pula para ulama telah sepakat bahwa si wanita berhak mendapatkan mahar penuh apabila ia telah disetubuhi meski secara haram, misalnya yang disetubuhinya adalah duburnya, atau disetubuhinya ketika haid, ketika nifas, ketika ihram, ketika puasa bulan Ramadhan atau ketika itikaf. Apabila ia menyetubuhinya dalam kondisi di atas, maka haram hukumnya, namun apabila si isteri kemudian dicerai, maka ia berhak mendapatkan mas kawin penuh, sekalipun yang disetubuhinya bukan farjnya (vaginanya) tapi duburnya (anusnya).
2. Apabila salah satu dari suami isteri meninggal dunia sebelum keduanya melakukan hubungan badan dan keduanya berada dalam pernikahan yang sah, bukan pernikahan yang batal.
Untuk kondisi seperti ini, ada dua keadaan. Pertama, apabila mahar tersebut disebutkan ketika akad (yakni si isteri menyebutkan jumalah tertentu maharnya, Mahar Musamma), kemudian salah satunya meninggal dunia sebelum keduanya melakukan hubungan badan, maka para ulama sepakat bahwa si isteri berhak mendapatkan mahar penuh. Hal ini karena, kematian tidak dapat membatalkan akad nikah, akan tetapi ia hanya dapat mengakhiri pernikahan saja. Karena tidak dapat membatalkan pernikahan itulah, maka si isteri tetap berhak mendapatkan seluruh hak-haknya termasuk mahar.
Kedua, apabila maharnya tidak disebutkan ketika akad karena si isteri tidak menentukan jumlah tertentu atau sering disebut dengan Nikah Tafwid (Mahar Ghair Musamma), kemudian salah satunya meninggal dunia sebelum melakukan hubungan badan, maka para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Menurut Madzhab Hanafiyyah, Hanabilah dan Imam Syafi'I, maka si wanita tersebut berhak mendapatkan mahar mitsil penuh. Di antara dalilnya adalah bahwa pernikahan adalah akad yang dibatasi oleh umur. Dengan meninggalnya salah satu pihak, maka akad tersebut berakhir dan si isteri berhak mendapatkan penggantinya yakni berupa mahar mitsil penuh. Sedangkan menurut Malikiyyah dan sebagian ulama Syafi'iyyah, bahwa si wanita tersebut tidak berhak mendapatkan sedikitpun dari mahar tersebut. Hal ini dikarenakan, si isteri belum didukhul bahkan belum disentuh sedikitpun. Hanya saja, penulis lebih condong untuk mengambil pendapat pertama, bahwa si isteri berhak mendapatkan semua mahar secara penuh. Hal ini dikarenakan ada sebuah hadits berikut ini:
لﺎﻗ ﺔﻤﻘﻠﻋ ﺚﻳﺪﺣ : ﺎﻣ ﻢﺛ ﻞﺟر ﺎﻬﺟوﺰﺗ ةأﺮﻣا ﻰﻓ دﻮﻌﺴﻣ ﻦﺑ ﷲا ﺪﺒﻋ ﻰﺗأ ت ﺎﻬﻨﻋ , ﻢﻟو
ﺎﻬﺑ ﻞﺥد ﻦﻜﻳ ﻢﻟو ﺎﻗاﺪﺹ ﺎﻬﻟ ضﺮﻔﻳ , لﺎﻗ : لﺎﻘﻓ ﻪﻴﻟإ اﻮﻔﻠﺘﺥﺎﻓ : )) قاﺪﺹ ﻞﺜﻣ ﺎﻬﻟ ىرأ ﺎﻬﺋﺎﺴﻥ , ةﺪﻌﻟا ﺎﻬﻴﻠﻋو ثاﺮﻴﻤﻟا ﺎﻬﻟو (( ﻰﻌﺠﺵﻷا نﺎﻨﺱ ﻦﺑ ﻞﻘﻌﻣ ﺪﻬﺸﻓ )) : ﻰﻠﺹ ﻲﺒﻨﻟا نأ
ا عوﺮﺑ ﻰﻓ ﻰﻀﻗ ﻢﻠﺱو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻀﻗ ﺎﻣ ﻞﺜﻤﺑ ﻖﺵاو ﺔﻨﺑ ] (( دواد ﻮﺑأو ىﺬﻣﺮﺘﻟا ﻪﺟﺮﺥأ ﺪﻤﺣأو ﻪﺟﺎﻣ ﻦﺑاو ﻲﺋﺎﺴﻨﻟاو [
Artinya: Alqamah berkata: "Ibnu Masud pernah mendatangi seorang wanita yang dinikahi oleh seorang laki-laki kemudian suaminya ini meninggal dunia, sementara ia belum menyebutkan dan belum membayar mahar kepada isterinya itu juga belum disetubuhinya. Alqamah berkata: Orangorang berselisih pendapat. Lalu Ibn Mas'ud berkata: "Menurut saya, wanita itu berhak mendapatkan mahar mitsil, dan ia juga berhak menerima harta waritsannya juga ia harus beriddah). Maqal bin Sinan al-Asyja'I berkata: "Bahwasannya Rasulullah saw memutuskan masalah Barwa' binti Wasyiq persis sama dengan apa yang telah diputuskan oleh Ibn Mas'ud" (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Nasai, Ibn Majah dan Imam Ahmad).
3. Antara suami isteri berdua-duaan di tempat sepi dan rahasia sekalipun keduanya belum melakukan hubungan badan.
Apabila suami isteri setelah melakukan akad nikah berdua-duaan di tempat sepi seperti di dalam kamar, di dalam rumah, tanpa ada orang lain selain mereka berdua, sehingga karena berduaduaannya di tempat yang sangat sepi itu diperkirakan keduanya telah melakukan hubungan badan, maka para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'I dalam pendapat lamanya, Imam Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya, bahwa si wanita tersebut berhak mendapatkan seluruh mahar / mahar penuh meskipun keduanya belum melakukan hubungan badan. Di antara dalil yang dijadikan hujjahnya adalah:
لﺎﻗ ﻰﻓوأ ﻦﺑ ةرارز ﻦﻋ )) : نﻮﻳﺪﻬﻤﻟا نوﺪﺵاﺮﻟا ءﺎﻔﻠﺨﻟا ﻰﻀﻗ : ﺎﺑﺎﺑ ﻖﻠﻏأ ﻦﻣ نأ , وأ
ةﺪﻌﻟاو ﺮﻬﻤﻟا ﺐﺟو ﺪﻘﻓ واﺮﺘﺱ ﻰﺥرأ ] (( ﻊﻄﻘﻨﻣ دﺎﻨﺱﺈﺑ ﻰﻘﻬﻴﺒﻟا ﻪﺟﺮﺥأ [
Artinya: Zararah bin Aufa berkata: "Para Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib) berfatwa bahwasannya barang siapa yang menutup pintu atau menjulurkan penghalang, maka laki-lakinya wajib membayar mahar dan si wanita harus beriddah" (HR. Imam Baihaki dengan sanad Munqathi).
ﻪﻨﻋ ﷲا ﻲﺽر بﺎﻄﺨﻟا ﻦﺑ ﺮﻤﻋ نأ ﺐﻴﺴﻤﻟا ﻦﺑ ﺪﻴﻌﺱ ﻦﻋ )) : اذإ ةأﺮﻤﻟا ﻰﻓ ﻰﻀﻗ
ﻟا ﺐﺟو ﺪﻘﻓ رﻮﺘﺴﻟا ﺖﻴﺥرأ اذإ ﻪﻥأ ﻞﺟﺮﻟا ﺎﻬﺟوﺰﺗ قاﺪﺼ ] (( ﻰﻘﻬﻴﺒﻟاو ﻚﻟﺎﻣ ﻪﺟﺮﺥأ
ﺢﻴﺤﺹ دﺎﻨﺱﺈﺑ [
Artinya: Dari Said bin al-Musayyib bahwasannya Umar bin Khatab memutuskan untuk seorang wanita apabila ia dinikahi oleh seorang laki-laki lalu dijulurkan kain penghalang, maka laki-laki itu wajib membayar mas kawin" (HR. Malik dan Imam Baihaki dengan sanad yang shahih).
Pendapat kedua, bahwasannya ia tidak berhak mendapatkan mahar penuh kecuali betulbetul yakin bahwa si wanita tersebut telah didukhulnya. Pendapat ini adalah pendapatnya Imam Malik, Imam Syafi'I dalam pendapatnya yang baru, Ibnu Taimiyyah serta yang lainnya. Di antara dalil kelompok ini adalah:
ْﻢُﺘ ْﺽَﺮَﻓ ﺎَﻣ ُﻒْﺼ ِﻨَﻓ ًﺔَﻀ ﻳِﺮَﻓ ﱠﻦ ُﻬَﻟ ْﻢُﺘ ْﺽَﺮَﻓ ْﺪ َﻗَو ﱠﻦُهﻮﱡﺴ َﻤَﺗ ْنَأ ِﻞ ْﺒَﻗ ْﻦ ِﻣ ﱠﻦُهﻮ ُﻤُﺘْﻘﱠﻠ َﻃ ْنِإَو ) ةﺮﻘﺒﻟا : 237 (
Artinya: "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu" (QS. Al-Baqarah: 237).
Kata al-mass dalam ayat di atas ditafsirkan oleh kelompok ini dengan jima. Oleh karena itu wanita yang ditalak sebelum disetubuhi, maharnya adalah setengahnya.
ﻢﻟ ﻪﻥأ ﻢﻋﺰﻓ ﺎﻬﻘﻠﻃ ﻢﺛ ﻪﺗأﺮﻣا ﻪﻴﻠﻋ ﺖﻠﺥدأ اذإ ﻞﺟﺮﻟا ﻰﻓ لﻮﻘﻳ نﺎآ ﻪﻥأ سﺎﺒﻋ ﻦﺑا ﻦﻋ
لﺎﻗ ﺎﻬﺴﻤﻳ : قاﺪﺼﻟا ﻒﺼﻥ ﻪﻴﻠﻋ ] (( ﻒﻴﻌﺽ دﺎﻨﺱﺈﺑ رﻮﺼﻨﻣ ﻦﺑ ﺪﻴﻌﺱ ﻪﺟﺮﺥأ [
Artinya: Dari Ibnu Abbas, bahwasannya ia berkata tentang seorang laki-laki yang berdua-duaan dengan isterinya dan diperkirakan keduanya belum melakukan hubungan badan, maka Ibnu Abbas berpendapat: "Laki-laki tersebut harus membayar setengah mahar" (HR. Said bin Mansur dengan sanad yang lemah).
لﺎﻗ دﻮﻌﺴﻣ ﻦﺑا ﻦﻋ )) : قاﺪﺼﻟا ﻒﺼﻥ ﺎﻬﻟ , ﺎﻬﻴﻠﺟر ﻦﻴﺑ ﺲﻠﺟ نإو ] (( مﺰﺣ ﻦﺑا ﻩاور
دﺎﻨﺱﺈﺑ ﻊﻄﻘﻨﻣ [
adalah: Ibnu Mas'ud mengatakan: "Si wanita berhak menerima 1/2 mas kawin, sekalipun lakilaki itu hanya duduk di antara 2 kaki perempuan tadi" (HR. Ibn Hazm dengan sanad Munqathi).
Dari kedua pendapat pada atas, irit penulis, pendapat pertama yang berkata si perempuan berhak mendapatkan mahar penuh adalah pendapat yang lebih bertenaga. Sebab dalil-dalil yang dikemukakan sang grup kedua umumnya berupa hadits-hadits dhaif. Namun demikian, penulis condong buat menengahi ke 2 pendapat pada atas menggunakan berkata bahwa bila si wanita tersebut mengaku benar -benar belum digauli serta dibuktikan dengan pemeriksaan kesehetan (dokter), maka irit penulis dapat dibenarkan dan karenanya si perempuan hanya mendapatkan 1/2 mahar saja. Tetapi, apabila ia benar -benar sudah disetubuhi, maka dia berhak menerima semua mahar. Hal ini dikarenakan bahwa nash baik ayat al-Qur'an maupun hadits Nabi menggunakan tegas mengatakan bahwa yang berhak menerima seluruh mahar itu artinya perempuan yang sudah disetubuhi. Sementara yang belum disetubuhi, dia berhak menerima setengah mahar sebagaimana akan dijelaskan pada bawah nanti.
4. Siisteri tinggal selama setahun pada tempat tinggal suaminya sekalipun tidak disetubuhinya.
Berdasarkan Malikiyyah, apabila seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita lalu dia tinggal pada tempat tinggal suaminya selama satu tahun sekalipun tidak disetubuhi, lalu ia dicerai, maka ia berhak mendapatkan seluruh mahar / mahar penuh. Hal ini berdasarkan Malikiyyah, karena saat satu tahun artinya sebuah praduga bertenaga bahwa ia secara awam sempurna digauli. Tetapi, demikian penulis tak mengetahui alasan Malikiyyah dalam menentukan ketika satu tahunnya itu. Tidak ada informasi satu pun yg menyebutkan mengapa batasan waktunya adalah satu tahun.
Lima. Mentalak isteri saat beliau sakaratul maut dan belum didukhul.
Jika seseorang laki-laki menceraikan isterinya waktu laki-laki tersebut sakaratul maut, mau mangkat , serta si isteri tadi belum disetubuhinya, menggunakan maksud bahwa menggunakan ditalaknya, si isteri tidak akan berhak menerima harta warisannya, kemudian pria itu meninggal, maka dari Hanabilah wanita tersebut berhak menerima mahar penuh. Hal ini, berdasarkan Hanabilah, karena wanita tadi diwajibkan mempunyai masa iddah (masa menunggu, tidak boleh menikah dahulu dan tidak boleh menerima pinangan dulu) selama empat bulan sepuluh hari. Karena dia harus iddah itulah, maka si wanita tadi sekalipun belum didukhul, tetap berhak mendapatkan semua mahar.
Kapan si isteri berhak mendapatkan 1/2 mahar (an-Nishf)?
Jika pada atas sudah dijelaskan kondisi-kondisi pada mana seseorang isteri berhak menerima mahar penuh, maka pada kesempatan kali ini, kita akan membahas syarat pada mana si isteri hanya berhak mendapatkan setengah maharnya. Contohnya, jika mahar yang disebutkan serta disepakati beserta antara laki-laki dan wanita tersebut satu juta, maka buat pembahasan kali ini si isteri hanya berhak menerima 1/2 maharnya, yakni sebesar 500 ribu rupiah. Kondisi dimaksud artinya:
bila si isteri dicerai sebelum didukhul (sebelum disetubuhi) dan maharnya ditentukan sang si isteri atau sang si suami, jua disebutkan waktu akad.
Para ulama sudah setuju bahwa jika si isteri sudah dinikahi kemudian dicerai sebelum disetubuhi juga sebelum keduanya berdua-duaan (khalwah) pada tempat sepi yg diperkirakan akan terjadinya hubungan badan, maka si isteri berhak menerima setengah mahar. Hal ini didasarkan kepada dalil berikut adalah:
َﻣ ُﻒْﺼ ِﻨَﻓ ًﺔَﻀ ﻳِﺮَﻓ ﱠﻦ ُﻬَﻟ ْﻢُﺘ ْﺽَﺮَﻓ ْﺪ َﻗَو ﱠﻦُهﻮﱡﺴ َﻤَﺗ ْنَأ ِﻞ ْﺒَﻗ ْﻦ ِﻣ ﱠﻦُهﻮ ُﻤُﺘْﻘﱠﻠ َﻃ ْنِإَو ْﻢُﺘ ْﺽَﺮَﻓ ﺎ ) ةﺮﻘﺒﻟا : 237 (
merupakan: "Bila kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur menggunakan mereka, padahal sesungguhnya kamu telah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yg sudah kamu tentukan itu" (QS. Al-Baqarah: 237).
Demikian juga apabila ia berpisah bukan sebab talak. Contohnya apabila ternyata pernikahan tadi masih terdapat ikatan darah serta keturunan, sehingga wajib dipisahkan serta dibatalkan pernikahan tadi (pada istilah fiqh dianggap difasakh, dibatalkan) atau karena li'an, ila' (sebagaimana akan dibahas dalam makalah berikutnya), serta si isteri belum didukhul, maka si isteri berhak mendapatkan setengah mahar. Namun, jika mahar tadi tak disebutkan serta tidak dipengaruhi oleh si perempuan (Mahar Ghair Musamma), serta si wanita tadi belum didukhul, pula keduanya belum berdua-duaan di kawasan sunyi, maka para ulama tidak selaras pendapat:
berdasarkan Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'I serta yang lainnya, si perempuan tak berhak mendapatkan mahar sedikitpun, hanya saja ia wajib mendapatkan Mut'ah. Mut'ah ialah anugerah sejumlah uang berasal si suami pada isterinya yang diceraikan yang jumlahnya tak dipengaruhi tergantung kondisi masingmasing si suami yang bersangkutan. Pada antara dalil yang dikemukakan sang madzhab ini merupakan:
ْﻢُﺘ ْﺽَﺮَﻓ ﺎَﻣ ُﻒْﺼ ِﻨَﻓ ًﺔَﻀ ﻳِﺮَﻓ ﱠﻦ ُﻬَﻟ ْﻢُﺘ ْﺽَﺮَﻓ ْﺪ َﻗَو ﱠﻦُهﻮﱡﺴ َﻤَﺗ ْنَأ ِﻞ ْﺒَﻗ ْﻦ ِﻣ ﱠﻦُهﻮ ُﻤُﺘْﻘﱠﻠ َﻃ ْنِإَو ) ةﺮﻘﺒﻟا : 237 (
merupakan: "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum engkau bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya engkau sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua asal mahar yg sudah engkau tentukan itu" (QS. Al-Baqarah: 237).
ِﻊ ِﺱﻮُﻤْﻟا ﻰ َﻠَﻋ ﱠﻦُهﻮُﻌﱢﺘَﻣَو ًﺔَﻀﻳِﺮَﻓ ﱠﻦُﻬَﻟ اﻮُﺽِﺮْﻔَﺗ ْوَأ ﱠﻦُهﻮﱡﺴَﻤَﺗ ْﻢَﻟ ﺎَﻣ َءﺎَﺴﱢﻨﻟا ُﻢُﺘْﻘﱠﻠ َﻃ ْنِإ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ َحﺎَﻨُﺟ ﺎَﻟ ﻰَﻠَﻋَو ُﻩُرَﺪَﻗ َﻦﻴِﻨِﺴْﺤُﻤْﻟا ﻰَﻠَﻋ ﺎًّﻘَﺣ ِفوُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ ﺎًﻋﺎَﺘَﻣ ُﻩُرَﺪَﻗ ِﺮِﺘْﻘُﻤْﻟا ) ةﺮﻘﺒﻟا : 236 (
ialah: "tidak terdapat kewajiban membayar (mahar) atas engkau , Bila engkau menceraikan istri-istri kamu sebelum engkau bercampur menggunakan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah engkau berikan suatu mut'ah (hadiah) kepada mereka. Orang yang bisa berdasarkan kemampuannya dan orang yg miskin berdasarkan kemampuannya (juga), yaitu hadiah menurut yg patut. Yang demikian itu ialah ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan" (QS. Al-Baqarah: 236).
Pula firman Allah berikut adalah:
ْﻦ ِﻣ ﱠﻦِﻬْﻴ َﻠ َﻋ ْﻢ ُﻜَﻟ ﺎ َﻤَﻓ ﱠﻦُهﻮﱡﺴ َﻤَﺗ ْنَأ ِﻞ ْﺒَﻗ ْﻦ ِﻣ ﱠﻦُهﻮُﻤُﺘْﻘﱠﻠ َﻃ ﱠﻢُﺛ ِتﺎَﻨِﻣْﺆُﻤْﻟا ُﻢُﺘْﺤَﻜَﻥ اَذِإ اﻮُﻨَﻣاَء َﻦﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡﻳَأﺎَﻳ ﺎًﻠﻴِﻤَﺟ ﺎًﺣاَﺮَﺱ ﱠﻦُهﻮُﺣﱢﺮَﺱَو ﱠﻦُهﻮُﻌﱢﺘَﻤَﻓ ﺎَﻬَﻥوﱡﺪَﺘْﻌَﺗ ٍةﱠﺪِﻋ ) باﺰﺣﻷا : 49 (
artinya: "Hai orang-orang yg beriman, bila kamu menikahi perempuan -wanita yang beriman, kemudian engkau ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak harus atas mereka 'iddah bagimu yang engkau minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yg sebaik-baiknya" (QS. Al-Ahzab: 49)
Mut'ah pada ayat di atas maksudnya artinya pemberian dari si suami pada isteri yang ditalak yg kadar serta jumlahnya tidak ditentukan tergantung kondisi serta keadaan si suami. Istilah kini menjadi uang penggembira. Dari gerombolan ini, si perempuan yang diceraikan dan belum didukhul hanya menerima setengah mahar apabila dalam akad atau sebelum akad, maharnya disebutkan dan ditentukan. Namun, bila maharnya tidak disebutkan dan tidak dipengaruhi, maka dia tak berhak mendapat sedikitpun berasal mahar tadi. Hal ini dikarenakan pada surat al-Baqarah ayat 237 di atas disebutkan bahwa wanita yang dicerai sebelum didukhul berhak mendapatkan setengah mahar itu apabila maharnya disebutkan atau dipengaruhi saat akad atau sebelum akad. Bila dia tidak disebutkan saat akad, maka wanita tidak termasuk pada ayat pada atas yang berhak mendapatkan setengah mahar. Hanya saja, wanita tadi wajib menerima mut'ah, sebab beliau posisinya sebagai isteri yg ditalak dan seluruh isteri yg ditalak berhak mendapatkan mut'ah.
Pendapat kedua mengatakan beliau tidak menerima setengah mahar juga tidak wajib memberi mut'ah. Hanya saja, jikalau si suami memberikan mut'ah, maka itu sunnah saja. Pendapat ini adalah pendapatnya Imam Malik dan Imam Laits. Di antara dalil yg dikemukakannya merupakan sebagai berikut:
ُﻩُرَﺪَﻗ ِﺮِﺘْﻘُﻤْﻟا ﻰَﻠَﻋَو ُﻩُرَﺪَﻗ ِﻊِﺱﻮُﻤْﻟا ﻰَﻠَﻋ ﱠﻦُهﻮُﻌﱢﺘَﻣَو َﻦﻴِﻨِﺴْﺤُﻤْﻟا ﻰَﻠَﻋ ﺎًّﻘَﺣ ِفوُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ ﺎًﻋﺎَﺘَﻣ ) ةﺮﻘﺒﻟا : 236 (
ialah: " dan hendaklah engkau berikan suatu mut'ah (pemberian ) kepada mereka. Orang yang mampu dari kemampuannya serta orang yang miskin berdasarkan kemampuannya (pula), yaitu pemberian berdasarkan yg patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan" (QS. Al- Baqarah: 236).
Kelompok ini berkata, dalam ayat di atas, Allah memakai kata 'alal muhsinin', bagi orang-orang yg baik, ini menunjukkan bahwa mut'ah, hadiah buat perempuan yg ditalak itu hanyalah menjadi ihsan, kebaikan saja (sunnah saja) dan bukan wajib . Karena jika beliau wajib hukumnya, tentu tidak akan memakai kata ihsan tapi menggunakan kata lain yang lebih menunjukkan harus seperti menggunakan istilah maktuban atau wajiban dan lainnya. Hanya saja, pendapat ini dapat dibantah menggunakan berkata bukankah memberikan sesuatu yang wajib jua itu sebuah kebaikan, ihsan? Oleh sebab itu, kebaikan tidak mesti untuk hal yang sunnah saja akan tetapi pula yg wajib . Terlebih dalam ayat di atas Allah memerintahkannya dengan memakai shigat fi'il amer, perintah. Dalam qaidah Ushul Fiqh dikatakan bahwa dari dalam perintah itu membagikan pada harus selama tak ada dalil lain yg memalingkannya. Pada hal mut'ah ini, sepengetahuan penulis, tidak ada informasi satupun yg memalingkan asal kewajibannya. Buat itu, menyampaikan mut'ah pada perempuan yang ditalak hukumnya merupakan wajib .
Pendapat ketiga mengatakan, bahwa wanita tersebut berhak menerima setengah mahar mitsil. Pendapat ini adalah pendapat keduanya Imam Ahmad bin Hanbal. Di antara dalilnya ialah karena beliau artinya sebuah pernikahan yang sah. Sang karenanya dia harus membayar mahar mitsil selesainya didukhul. Tetapi waktu beliau ditalak sebelum didukhul, maka tentu wanita tersebut berhak mendapatkan 1/2 dari mahar mitsil tersebut. Pendapat yg penulis pandang lebih rajih ialah pendapat pertama yg berkata bahwa dia hanya berhak menerima mut'ah, tidak mendapatkan setengah mahar. Hal ini sekali lagi dikarenakan, yg berhak mendapatkan setengah mahar itu, jika perempuan ditalak sebelum didukhul menggunakan catatan maharnya sudah disebutkan serta dipengaruhi saat akad ataupun sebelumnya sebagaimana disebutkan secara sharih (jelas dan tegas) dalam surat al-Baqarah ayat 237 di atas.
Tetapi persoalannya kini , bagaimana jika mahar tadi tidak disebutkan saat akad atau sebelum akad, akan tetapi saat telah berumah tangga serta hayati beserta kemudian keduanya sepakat terhadap jumlah tertentu, atau si isteri memilih jumlah eksklusif dan si suami menyetujui serta menyanggupinya, lalu isteri tersebut diceraikan sebelum didukhul, apakah si perempuan berhak mendapatkan setengah mahar?
Menurut Hanafiyyah, si wanita permanen tidak dapat menerima setengah mahar, hanya beliau berhak mendapatkan mut'ah saja. Hal ini dikarenakan penentuan jumlah selesainya akad nikah dilangsungkan, tidak disebut menjadi Mahar Musamma, tidak dilihat menjadi penentuan mahar. Ia tetap diklaim tidak memilih mahar (mahar ghair musamma). Serta karena itu, saat dicerai sebelum dukhul, dia tidak berhak menerima apa-apa dari maharnya, hanya mut'ah saja. Sedangkan menurut Jumhur ulama, mas kawin yang dipengaruhi atau disepakati setelah akad ditinjau menjadi Mahar Musamma. Dan sebab dipandang menjadi Mahar Musamma, maka jika beliau diceraikan sebelum dukhul, si wanita berhak menerima setengah maharnya. Hal ini dikarenakan istilah: 'fanishfu ma faradhtum' (maka setengah berasal apa yang telah kamu tentukan), bersifat umum buat seluruh pernikahan yang sah, baik ditentukan sang orang yang menikah tadi waktu akad, juga sesudah akad. Dalam ayat di atas Allah tak mengatakan: fanishfu ma faradhtum fi nafsil 'aqd (maka setengah dari mahar yang telah ditentukan di waktu akad), akan tetapi Allah memakai ta'arak yg muthlaq, bebas dan tidak dibatasi oleh hal-hal tertentu. Sebab ayat tersebut muthlak sifatnya (tidak dibatasi), maka hukumnya pun muthlak, meliputi baik disebutkan serta dipengaruhi saat akad juga sehabis akad.
Pendapat jumhur ini, hemat penulis, ialah yang lebih mendekati kebenaran. Sang karena itu, perempuan yg ditalak sebelum didukhul dan mas kawinnya dipengaruhi atau disepakati beserta sehabis akad nikah berlangsung, maka si wanita berhak menerima 1/2 maharnya.
0 Response to "Penjelasan Lengkap Seputar " MAHAR/MAS KAWIN ""
Post a Comment