Hukum Selfi Dalam Islam

Hukum Selfi Dalam Islam


Beberapa waktu yang lalu saya banyak sekali ditanya perihal selfie, bahasan yang menjadi trending topic di twitter, diliput beberapa media lokal dan internasional, dan akhirnya menempatkan saya seolah-olah yang paling bertanggung jawab atas urusan ini,

Hukum Selfi Dalam Islam

Berikut kumpulan twit yang dimaksud


selfie itu kebanyakan berujung pada TAKABBUR, RIYA, sedikitnya UJUB
buat cewek apalagi cowok, lebih baik hindari yang namanya foto selfie, nggak ada manfaatnya banyak mudharatnya
bila kita berfoto selfie lalu takjub dengan hasil foto itu, bahkan mencari-cari pose terbaik dengan foto itu, lalu mengagumi hasilnya, mengagumi diri sendiri, maka khawatir itu termasuk UJUB
bila kita berfoto selfie lalu mengunggah di media sosial, lalu berharap ianya di-komen, di-like, di-view atau apalah, bahkan kita merasa senang ketika mendapatkan apresiasi, lalu ber-selfie ria dengan alasan ingin mengunggahnya sehingga jadi semisal seleb, maka kita masuk dalam perangkap RIYA.
bila kita berfoto selfie, lalu dengannya kita membanding-bandingkan dengan orang lainnya, merasa lebih baik dari yang lain karenanya, merasa lebih hebat karenanya, jatuhlah kita pada hal yang paling buruk yaitu TAKABBUR.
ketiganya mematikan hati, membakar habis amal, dan membuatnya layu bahkan sebelum ia mekar
memang ini bahasan niat, dan tiada yang mengetahuinya kecuali hati sendiri dan Allah, dan kami pun tiada ingin menelisik maksud dalam hati, hanya sekedar bernasihat pada diri sendiri dan juga menggugurkan kewajiban
teringat masa lalu, kami masih merasakan masa dimana memfoto diri sendiri adalah aib, sesuatu yang aneh, tidak biasa, dan cenderung gila, narsis di masa kami bukan sesuatu kebiasaan
zaman sekarang malah terbalik, cewek-cewek Muslimah tanpa ada malu memasang fotonya di media sosial, satu foto 9 frame, dengan pose wajah yang -innalillahi- segala macem, saat malu sudah ditinggal, dimana lagi kemuliaan wanita?
alhamdulillah, sebelum Muslim apalagi sesudahnya, tak pernah sekalipun kami ber-selfie ria, kecuali tatkala harus membuat video di Roma, dan tidak ada yang bisa mengambil gambar sendiri, selain batu yang menjadi penolong, hehe..
alhamdulillah, nggak pernah selfie, karena selalu ada yang mau fotoin dan ada yang bisa diajak foto demen selfie-an, tentu saya nggak ajak untuk dua-duaan hehe..
jadi hati-hati yang doyan selfie, bisa-bisa selfie terus seumur-umur saudaramu yang nulis ini karena sayang kamu,
Beberapa sahabat tatkala membaca dan mendengar bahasan ini banyak yang meminta saya untuk mengklarifikasi tentang urusan ini, dan terus terang saya enggan kembali memenuhi permintaan mereka karena saya sudah mengklarifikasi berkali-kali baik pada media sosial mapun media elektronik. Namun mudah-mudahan dengan adanya tulisan ini, semua bahasan tentang selfie dan semua problematikanya menjadi jelas.
Sebelumnya, pertama-tama saya ingin menyampaikan bahwa saat pembahasan selfie ini menjadi trending topic pada tanggal 19 Januari 2014, itu bukanlah pertama kalinya saya membahas tentang selfie. Namun jauh sebelumnya saya sudah membahasnya berkali-kali di media sosial, salah satunya adalah tanggal 22 Juni 2014
Lalu mengapa pada tanggal 19 Januari kumpulan twit ini baru menuai reaksi dari netizen? Fakta menunjukkan banyak akun-akun yang berafiliasi sama, yang menaikkan topik ini dengan memanfaatkan follower dan mungkin juga buzzer, dengan menggunakan pemelintiran terhadap fakta, penipuan dan penyesatan, sehingga seolah-olah ini berita yang besar, padahal semua adalah kedustaan belakang.
Beberapa hal yang dimanipulasi adalah:
  1. Dibuat oleh beberapa media online yang tidak bertanggung jawab dengan judul bombastis, yang seolah-olah saya menyatakan bahwa selfie adalah haram. Tanpa mengkonfirmasi sedikitpun, tanpa menyertakan sumber informasinya. Padahal tidak satu kali pun saya menyebut dalam twit atau pernyataan saya bahwa selfie termasuk perbuatan haram.
  2. Dikesankan di media-media tersebut, dan dalam gambar-gambar rekaan oleh kelompok-kelompok tertentu, bahwa saya mengharamkan selfie di satu sisi, namun menjadi juri dalam kontes selfie yang saya adakan sendiri, dan berhadiah buku “Khilafah:Remake”. Seolah-olah saya menjilat ludah sendiri, inkonsistensi.

Maka tentu saja, hal ini menjadi makanan empuk bagi siapapun yang berniat menebar fitnah tanpa kroscek, tanpa tabayyun. Media yang tidak etis jurnalistiknya berpadu dengan masyarakat yang mudah terprovokasi, cocok. Dan tentu, saya akan sampaikan penjelasannya satu-persatu.
Hukum Berfoto dalam Islam
Yang harus disepakati juga adalah bahwa selfie ini adalah salah satu teknik berfoto, yaitu mengambil gambar dengan dirinya sendiri, baik dengan tangannya sendiri ataupun alat, bukan difoto atau diambil oleh orang lain. Dan kembali pada hukum asal di dalam Islam, berfoto hukum asalnya adalah boleh, dengan segala tekniknya, termasuk selfie. Maka bahasan kita mulai dari sini.
Tentang Selfie
Bukan pertama kalinya fenomena selfie yang melanda Indonesia ini diingatkan sebagai sesuatu yang berbahaya. Banyak ahli psikologi dan bahasan-bahasan tentang kejiwaan telah memperingatkan hal ini.
Hasil penelitian Gwendolyn Seidman, associate professor di Albright College, menunjukkan bahwa baik narsisme dan self-objectification (kecenderungan takjub pada diri sendiri) terkait dengan menghabiskan waktu lebih banyak di media sosial, juga kekerapan mengedit foto. Mengunggah foto selfie secara sering juga berhubungan dengan tingginya tingkat narsisme dan kecenderungan psikopat.
Dr. Pamela Rutledge, Director Media Psychology Research Centre, seperti dikutip dari Mashable.com, malah berucap, “Berkaca dan memotret diri sendiri atauselfie adalah dua hal yang berbeda. Dengan mematut diri di depan kaca menimbulkan pergerakan yang nyata, sedangkan selfie lebih kepada imaji yang Anda ciptakan sendiri demi mendapatkan perhatian dari orang lain. Hal yang demikian menunjukkan seseorang yang kesepian, butuh pengakuan, selalu ingin menjadi pusat perhatian dan biasanya tidak terlalu pintar.”
Dr. David Veale, konsultan psikiatri di London, menyampaikan pada The Sunday Mirror: “2 dari 3 pasien yang datang kepada saya dengan Body Dysmorphic Disorder (BDD) sejak ramainya handphone berkamera, mereka secara konsisten terus-menerus mengambil gambar secara selfie dan memgunggahnya di media sosial”
Dari segi kejiwaan, selfie ini adalah bagian daripada perlilaku narsis, yang diambil dari perilaku seorang Yunani bernama Narcissus, yang terobsesi pada dirinya sendiri, senantiasa bercermin dan kagum dengan pantulan imaji dirinya sendiri di air, lama kelamaan jatuh tercebur dan mati karenanya. Perilaku narsis inilah yang menjadi bahaya tatkala melakukan selfie.
Pandangan Islam Tentang Malu Sebagai Akhlak Islam
Pertama, Islam memandang rasa malu adalah akhlak yang sangat utama di dalam agama. Bahkan Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu” (HR Ibnu Majah)
Terlebih bagi wanita, rasa malu ini adalah pakaian baginya, menjadi hiasan terbaik yang bisa dikenakan oleh seorang wanita, karena Rasulullah juga berpesan, rasa malu itu tidak mengakibatkan kecuali kebaikan.
Rasulullah juga bersabda,
“Keimanan itu ada 70 sekian cabang atau keimanan itu ada 60 sekian cabang. Seutama-utamanya ialah ucapan ‘La ilaha illallah’ dan serendah-rendahnya ialah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu itu adalah cabang dari keimanan” (HR Bukhari Muslim)
Bila seseorang betul-betul mengetahui fakta selfie, maka mereka akan memahami betul bahwa selfie yang dilakukan kebanyakan remaja Muslimah bahkan menjangkiti ibu-ibu pun, bukan lagi terkait dengan teknik foto, namun sudah banyak masuk ke dalam ranah perilaku narsis tadi, benar-benar sudah berlebihan.

Bagi yang memahami betul fenomena ini, akan mengetahui tingkah polah kaum Muslimah yang desperately terlihat cantik, mati-matian cari perhatian dan komentar dengan foto selfienya, dengan berbagai macam pose, mimik, dan gaya, andalannya duck-face (wajah dengan bibir yang dibuat seperti bebek).
Padahal Allah berpesan pada Muslimah,
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka tundukkan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya’…” (QS 24:31)
Perintah Allah sudah jelas, bahwa wanita harus menjaga diri mereka, menjaga rasa malu dan kemaluan, tidak justru menampakkan perhiasannya, atau bahkan memamerkan dirinya pada publik.
Dalam ayat yang lain Allah singgung pula tentang perilaku tabarruj, yaitu segala sesuatu tindakan berhias yang ditujukan agar diperhatikan oleh lelaki.
“dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS 33:33)
Menurut Ibnu Mandzur, arti tabarruj adalah wanita yang memperlihatkan keindahan dan perhiasannya dengan sengaja kepada lelaki. Imam Qatadah menambahkan tatkala menafsirkan ayat ini, bahwa tabarruj adalah wanita yang saat berjalan keluar dari rumahnya berlenggak-lenggok lagi menggoda lelaki.
Sampai disini saja, kita semua harus bermuhasabah, memang ini perkara amalan hati, namun alangkah baiknya bila kita bertanya pada diri sendiri, apakah amanah yang Allah pinta untuk kita jaga itu, rasa malu itu sudah kita tunaikan? Ataukah kita menggerusnya terus-menerus dengan melatih memamerkan diri kita pada oranglain? Salah satunya dengan selfie?
Kedua, bila kita memperhatikan fakta secara mendalam, maka kita akan memperhatikan bahwa fenomena selfie ini sangat berkaitan dengan materialisme. Bahwa segala sesuatu diukur dengan kepuasan fisik, mencari perhatian dari yang fana dan tertagih untuk melakukan hal tersebut terus-menerus. Karenanya bahaya selfie ini dikhawatirkan akan mengantarkan kita paling banyak pada takabbur, riya, dan paling sedikir sifat ujub, yang ketiganya adalah penghancur amal salih.
Kita tidak sedang mengatakan bahwa selfie pasti ujub, riya, takabbur, tidak pernah. Kita pun tidak membahas halal dan haramnya. Selfie kita kembalikan lagi sebagai salah satu teknik foto, dan berfoto adalah boleh. Namun apakah salah ketika kita bernasihat bahwa hati-hati seringnya selfie ini berujung pada ujub, riya, takabbur?
“Tiga dosa yang membinasakan, sifat pelit yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti, dan ujub seseorang terhadap dirinya” (HR Thabrani)
Apa yang sebenarnya orang inginkan tatkala melakukan selfie? Tentu ada banyak niat. Hanya saja bila kita perhatikan kebanyakan foto yang dihasilkan? Berbagai pose yang dibuat dengan mimik yang tak kalah ganasnya, mengagumi diri sendiri, takjub pada diri sendiri, bukankah ini namanya ujub?
Naik lagi satu tingkat, selfie ini dilakukan agar bisa diunggah ke media sosial, agar dikomentari dan di-likes, mulailah dia berbuat karena orang lain, bukan karena Allah Swt, bukankah ini namanya riya?
Naik lagi satu tingkat, dengan mengagumi foto, dipuja-puji oleh orang lain, lalu dia menganggap dirinya lebih dari orang lain, bukankah ini takabbur?
Bila diantara kita bebas daripada sifat-sifat begitu, tentu kita bersyukur. Dan jikalau kita tidak memiliki hal-hal seperti itu saat melakukan selfie, maka silakan saja. Hanya saja hati-hati, hati yang berpenyakit, seringkali tidak menyadari.
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, yang berkecukupan, dan yang tidak menonjolkan diri” (HR Muslim)

Jadi jelas disini, tidak pernah sekalipun saya menyatakan selfie itu haram, yang ada hanya nasihat dari seorang Muslim pada Muslim yang lainnya. Jika ada kebaikan mudah-mudahan kita dapat menyadari, bila tidak ada kebaikan maka campakkan saja.
Berikutnya, saya secara pribadi tidak pernah mengadakan lomba selfie atau menjadi juri dalam kontes apapun, apalagi kontes selfie. Tentu ada kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab, dengan sengaja memanipulasi dan memelintir fakta, sehingga kalangan lain yang lebih banyak jumlahnya dan sedikit perhatiannya, tanpa mengecek lagi kebenarannya langsung meneruskan fakta manipulatif ini pada yang lainnya.

Adapun acara yang dihelat pada 15 Desember, adalah acara seminar Muslimah dan launching produk hijab syar’i yang bertemakan “Sebaik-baik #Selfie adalah muhasabah diri”. Alhamdulillah, acara ini dihadiri 2500 peserta yang menjadi saksi penyampaian bahaya selfie sebagaimana yang saya jelaskan diatas. Adapun pembagian buku “Khilafah:Remake” bukan sebagai hadiah kontes selfie, tetapi memang bagian daripada acara tersebut.
Alhamdulillah, semua sudah saya sampaikan, mudah-mudahan bisa menjadi suatu penjelas, agar kita lebih berhati-hati dalam meneruskan dan mempercayai suatu berita yang penuh dengan kesimpangsiuran. Media memang tergantung kepentingan rating sehingga wawancara kadang pun dipelintir dan dinarasikan sesuai keinginan pengarahnya.
Dan juga semoga Muslimah semakin memahami bahaya selfie ini, dan bisa menangkap nasihat yang disampaikan ini dengan kebaikan. Bukan ingin menghakimi, namun hanya ingin berbagi, karena kami peduli. Dia akhir bahasan ini mari kami kutipkan nasihat Rasulullah bagi kita semua.
“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya” (HR Hakim)
“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di surga. Dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di neraka” (HR Ahmad)
Bagaimana dengan saya sendiri? Apakah saat saya beraktivitas di media sosial, mengunggah foto, berdakwah lewat tulisan, dan sebagainya lantas saya bebas dari ujub, riya dan takabbur?
Bebas dari narsisme? Tidak ada yang bisa menjamin. Karenanya saya sampaikan dari awal bahwa ini adalah nasihat dari seorang Muslim kepada Muslim yang lainnya, itu saja. Bila tetap suka, silakan lanjutkan, toh tugas saya hanya menasihati. Bila ada kebaikan, itu semua dari Allah semata.
Bilapun masih ada yang bersikeras menuduh selepas penjelasan ini, maka biarlah mereka dengan pendiriannya, toh bukan karena manusia saya menasihati diri sendiri dn berdakwah pada ummat Muslim. Cukup kita sampaikan hadits Rasulullah padanya,
“Sesungguhnya sebagian ajaran yang masih dikenal umat manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah: ‘Bila kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu!’” (HR Bukhari)
Akhukum fillah,

0 Response to "Hukum Selfi Dalam Islam"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel